REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Fathul Wahid menilai, permusuhan atas nama agama, apapun agamanya, tidak dapat diterima. Justru, nilai-nilai perenial agama seharusnya membawa kebaikan, menghormati dan perdamaian.
Ia menuturkan, jika ada sebagian kecil pemeluk agama yang cenderung kepada permusuhan, maka itu fakta sosial dan bisa terjadi terhadap semua agama. Tapi, itu bukan dasar yang valid untuk melakukan generalisasi yang membabi buta.
Fakta sosial lain sebagian orang mempunyai perspektif berbeda dengan yang dibayangkan kelompok lain. Mengutip Huntington (1996) dalam bukunya The Clash of Civilization, Islam diasosiasikan jeroan berdarah batas-batas berdarah.
Survei yang dilakukan Pew Research Center (Lipka, 2017) memberi gambaran lebih mutakhir atribusi yang cenderung negatif ke kelompok berbeda itu nyata. Begitu pula survei yang dilakukan di negara-negara pemeluk Islam mayoritas. Yang mana, orang Barat dipersepsikan egois, brutal, rakus, amoral, arogan dan fanatik. Sebaliknya, orang Barat turut memberikan atribusi negatif kepada seorang Muslim seperti fanatik, jujur, brutal, dermawan, arogan dan egois.
"Kombinasi atribut yang tidak lazim dan sulit dibayangkan untuk menyatu dengan harmoni," kata Fathul dalam Kuliah Umum XIII yang mengangkat tema Visi Baru Islam untuk Indonesia Maju yang digelar secara daring.
Ajaran Islam tidak mempunyai korelasi dengan konflik diamini oleh Fuller (2010), mantan pentolan CIA, yang terekam dalam buku A World without Islam. Secara hipotetik, pandangan itu turut disampaikan dalam sebuah diskusi di Rumi Forum.
Itu merupakan sebuah lembaga yang didirikan di Washington DC untuk dialog antaragama dan antarbudaya. Fuller menyatakan, bahkan jika Islam dan Nabi Muhammad tidak pernah ada, hubungan antara barat dengan timur tetap sama.
Terutama, lanjut Fathul, antara Amerika Serikat dengan Timur Tengah tidak akan berbeda jauh dari apa yang terjadi hari ini. Karenanya, Fathul berpendapat, merevitalisasi peran-peran agama saat ini menjadi semakin penting.
"Ketika fakta di lapangan memerlukan penjelasan yang lebih canggih," ujar Fathul.