REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI Ciput Eka Purwianti menegaskan upaya penghapusan kekerasan terhadap anak tidak boleh ditunda. Ciput menuturkan, upaya melindungi anak dari ancaman kekerasan membutuhkan sinergi dari semua pemangku kepentingan melalui pelaksanaan sistem perlindungan anak yang terintegrasi, salah satunya dengan menghadirkan sistem pendidikan positif, aman dan nyaman bagi anak.
"Untuk memastikan tidak adanya anak yang tertinggal atau leaving no child behind dan mencapai target 16.2 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), dibutuhkan upaya terkoordinasi dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan dalam menjalankan sistem perlindungan anak yang terintegrasi. Sistem ini dapat mengidentifikasi risiko dan kerentanan anak juga orang tua/ wali mereka serta merespon kerentanan tersebut melalui layanan multi-sektor yang terintegrasi dan dapat diakses semua pihak," kata Ciput melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (2/11).
Pandemi Covid-19 telah memperparah kerentanan dan meningkatkan risiko anak mengalami berbagai tindak kekerasan baik fisik, psikis, hingga seksual. Di bidang pendidikan, adanya kebijakan belajar dari rumah turut meningkatkan risiko anak mengalami kekerasan dan eksploitasi, bahkan berakhir di jalanan, diperdagangkan, berkonflik dengan hukum, atau dipaksa menikah di usia dini terutama pada anak perempuan.
Selain itu, kekerasan pun bisa dialami anak di lingkungan sekolahnya, seperti perundungan dan hukuman fisik yang membuat anak menderita, mempengaruhi kesehatan mental mereka. Karena itu, sangat penting mewujudkan lingkungan sekolah maupun lingkungan pendidikan lainnya yang aman dan nyaman guna memastikan anak terlindungi, dapat belajar dengan optimal, bermimpi dan percaya diri mengejar mimpinya.
Ciput menegaskan, anak adalah agen perubahan yang berperan penting untuk memutus siklus kekerasan. Namun, hal tersebut hanya bisa terwujud jika semua pemangku kepentingan bekerja sama mulai dari lingkungan rumah.
"Anak-anak perlu mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya, berani mengatakan tidak dalam kondisi yang membahayakan dirinya, didengarkan suaranya dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait hal-hal yang berdampak pada kehidupannya, baik di rumah, sekolah, dan masyarakat," jelas Ciput.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan penguatan sistem perlindungan anak sebagai strategi utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan tujuan untuk menurunkan kekerasan terhadap anak dan menurunkan angka perkawinan anak. "Pada 2020, Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 65 telah memperluas mandat Kemen PPPA untuk menyediakan layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun dari 514 kabupaten dan kota, belum semuanya memiliki layanan yang berkualitas," kata dia.
"Karena itu, perlu ada penetapan standar layanan yang menerapkan sistem perlindungan anak terpadu dengan melibatkan sektor-sektor utama seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan penegak hukum di semua tingkatan," terang Ciput.