Ahad 07 Nov 2021 16:52 WIB

Menjadi Warga Negara Sesungguhnya

Kualitas kewarganegaraan publik dibiarkan tidak mengalami perubahan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Menjadi Warga Negara Sesungguhnya (ilustrasi).
Foto: BPIP
Menjadi Warga Negara Sesungguhnya (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Kualitas paradigma manusia di Indonesia belum menunjukkan peningkatan. Pola pikir 'apa yang bisa kami dapatkan' seperti penyakit yang masih menjangkit, dan pendidikan kewarganegaraan seakan dibiarkan menjadi sekadar mata pelajaran.

Padahal, keberadaan pendidikan kewarganegaraan yang ada perguruan tinggi sangat dimungkinkan menjadi solusi perubahan yang signifikan. Asalkan, ada orang-orang yang mampu mengajarkan pentingnya warga negara memiliki komitmen kerakyatan.

Melalui pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan dari a sampai z, mendorong setiap warga negara melakoninya. Jangan, kehadiran mata kuliah kewarganegaraan malah direduksi jadi sekadar prosedur menghabiskan jam kuliah atau jam mengajar.

Kualitas kewarganegaraan publik dibiarkan tidak mengalami perubahan. Pendidikan kewarganegaraan disampaikan hanya sebagai basa basi untuk menghabiskan SKS, dan ujungnya demokrasi tidak bisa diajarkan karena universitas hanya membuang waktu.

Cuma memastikan ada dosen-dosen yang bisa membuang waktu, mahasiswa terlihat patuh, sedangkan komitmen kerakyatan publik tidak memiliki jejak. Keberadaan mata kuliah kewarganegaraan di universitas tidak dituntut menghasilkan dampak.

Padahal, jika pendidikan kewarganegaraan mampu ditularkan dari hari ke hari, kualitas paradigma warga negara bisa ditingkatkan. Sehingga, pemahaman kewarganegaraan bisa terus ditularkan menjadi akal sehat setiap warga negara.

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Prof Purwo Santoso melihat, sebenarnya ada peran besar yang bisa dilakukan pemerintah lewat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Tapi, tidak dilakukan hanya dengan membuat haluan.

Ia menilai, BPIP itu seharusnya bertugas memastikan guru-guru atau dosen-dosen kewarganegaraan mampu menghasilkan perbaikan kualitas warga negara. Sehingga, perilaku publik lebih baik dan tolak ukur utama semakin terasanya kerakyatan.

Sebab, Purwo mengingatkan, kerakyatan itu jelas bagian penting dari Pancasila. Jadi, ada hubungan erat antara BPIP dengan perbaikan kualitas pendidikan, dan harus ada yang menagih membaiknya kualitas kerakyatan publik dari hari ke hari.

"Tapi, universitas merasa tidak bersalah melakukan pelacuran ilmiah, ilmu hanya untuk mengatakan, bukan untuk menghasilkan kenyataan, hanya untuk menjelaskan, bukan untuk menghasilkan perubahan," kata Purwo kepada Republika, Sabtu (6/11).

Sebab, ia menekankan, sampai saat ini tidak ada pendidikan kewarganegaraan yang diwajibkan untuk diamalkan. Sebab, tujuan akhirnya masih sekadar nilai di akhir semester. Akibatnya, tidak membaiknya bangsa tidak menimbulkan rasa bersalah.

"Bagi saya itu pelacuran ilmiah, ilmu cuma dirancang habiskan SKS, jam mengajar, Indonesia tidak membaik tidak disesali karena universitas tidak merasa bersalah, universitas hanya dirancang sebagai tempat mencetak tenaga kerja," ujar Purwo.

Tidak berbeda pula Kementerian Dikbud Ristek yang seakan datang membawa semangat baru dan mengajak menata karakter. Tapi, tidak ada yang menagih karakter seorang warga negara di lapangan, melihat buah pembelajaran yang selama ini diberikan.

Purwo sendiri sempat membuat satu eksperimen di Yogyakarta, mengajak rekan-rekan wartawan menggabungkan citizen journalism dengan mata kuliah kewarganegaraan. Jadi, mereka diajak mengajari mahasiswa memahami betul pentingnya kerakyatan.

"Sehingga, wartawan ikut menjadi pemandu mahasiswa untuk memperbaiki kualitas kewarganegaran. Pada akhir semester semua itu diukur, ikut dinilai warga negara lain yang jadi wartawan, mampu menjadi warga negara yang sesungguhnya," kata Purwo.

Intinya, cendekiawan memang tidak bisa terus diam melihat bangsa ini larut dalam kemajuan zaman tanpa mendorong adanya perubahan. Membiarkan peningkatan kualitas paradigma warga negaranya terus menjadi dambaan, tanpa ada ikhtiar mewujudkan.

Kemajuan ilmu yang selama ini kerap kita banggakan seharusnya tidak sekadar jadi kehampaan. Tapi, harus dapat kita tagih, kita ukur, kita nilai, seberapa jauh keberadaan ilmu memperbaiki kualitas bangsa, kualitas warga negara Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement