Senin 15 Nov 2021 18:07 WIB

LK Buat Sistem Manajemen Fraud Berkurang 10 Persen

Satu dari empat LK di Asia-Pasifik saat ini memakai sistem manajemen fraud originasi.

Praktek manipulasi keuangan -Fraud- (ilustrasi)
Foto: insidemainstreet.com
Praktek manipulasi keuangan -Fraud- (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan teknologi global dalam bidang identitas digital, yang membantu berbagai perusahaan mencegah fraud dan memenuhi syarat kepatuhan, GBG, hari ini mengumumkan diterbitkannya studi IDC InfoBrief "Bangun, Beli, atau Sewa: Mengevaluasi Strategi yang Efektif untuk Memerangi Meningkatnya Kejahatan Finansial dan Penipuan di Asia/Pasifik". Lembaga keuangan (LK) di seluruh Asia-Pasifik terus menyesuaikan strategi investasi manajemen kejahatan keuangan mereka, antara membangun sendiri, membeli, atau menyewa. 

Infobrief IDC bekerja sama dengan GBG, menyuusun panduan konsultatif untuk membantu lembaga keuangan melakukan uji tuntas dalam mempertimbangkan parameter-parameter penting dan mengambil keputusan terkait langkah solusi anti-penipuan yang harus diambil di masa yang akan datang. GBG menugaskan IDC untuk melakukan riset pasar bertajuk "Next-Gen Financial Crime Management: APAC Finance, Banking, and Ecommerce" yang melibatkan lebih dari 800 responden di 8 pasar utama di Asia-Pasifik termasuk Singapura, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Thailand, Hong Kong, Australia, dan Filipina. 

Penelitian ini menemukan bahwa satu dari empat (26 persen) LK di Asia-Pasifik saat ini menggunakan sistem manajemen fraud originasi/aplikasi yang dibuat sendiri. Namun, kecenderungan untuk membangun sendiri ini diperkirakan akan menurun, sebab hanya 21 persen responden memilih strategi membangun sendiri sistem penipuan, sisanya memilih membeli atau menyewa saja.

Di Indonesia, tren penurunan membangun sendiri solusi internal ini bahkan lebih jelas terlihat. Ada 25 persen LK di Indonesia saat ini yang menggunakan sistem manajemen fraud originasi/aplikasi yang dibangun sendiri, namun, hanya 15 persen LK di Indonesia yang memilih untu membangun sendiri sistem manajemen fraud originasi untuk mengganti sistemnya yang usang, hal ini menunjukkan penurunan 10 persen, dibandingkan angka 5 persen untuk wilayah Asia-Pasifik.

Tren penurunan kecenderungan untuk membangun sendiri solusi ini juga terlihat untuk sistem fraud transaksi, platform manajemen kejahatan keuangan hulu ke hilir, solusi anti pencucian uang (AML)/kepatuhan, Know Your Customer (KYC)/solusi verifikasi identitas, machine learning/AI, serta solusi orkestrasi.

Managing Director, APAC at GBG, Dev Dhiman, menjelaskan, membangun, membeli, atau menyewa adalah dilema yang sejak dulu dihadapi oleh perusahaan rintisan maupun lembaga keuangan yang sudah mapan. Masalah ini semakin mencuat disebabkan oleh pandemi yang mempercepat digitalisasi dan mengubah proses manajemen risiko fraud. 

"Kita sekarang berada di era teknologi cerdas dan hiperkonektivitas, sehingga kompleksitas dan kecanggihan fraud serta kejahatan keuangan juga meningkat. Seiring dengan semakin mudahnya akses ke teknologi baru dan meningkatnya waktu yang dihabiskan di perangkat seluler, penipu dapat memanfaatkan taktik-taktik baru serta inovatif yang dapat membahayakan konsumen dan berbagai institusi," kata Dev dalam siaran pers, Senin (15/11).

"Lembaga keuangan perlu mempertimbangkan strategi investasi manajemen kejahatan keuangan mereka dengan lebih hati-hati. Pada dasarnya, perlu adanya pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam hal sumber daya TI, skalabilitas yang cepat untuk menumbuhkan saluran dan model bisnis baru, mampu mengelola kompleksitas tipologi fraud saat ini dan yang akan datang, serta seimbang agar dapat memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik," lanjut Dhiman.

Di antara LK di Asia-Pasifik yang telah membangun sendiri solusinya, 85 persen melaporkan bahwa mereka akan mengganti sistem yang telah mereka bangun dalam waktu tiga tahun, dan satu dari empat perusahaan menunjukkan siklus penggantian setiap 12 bulan. Di Indonesia, ada lebih banyak LK yang akan mengganti sistem internal mereka dalam jangka pendek.

Sebanyak 86 persen LK yang disurvei berencana untuk mengganti solusi yang telah mereka bangun dalam waktu tiga tahun, sedangkan satu dari tiga LK akan mengganti sistem yang mereka bangun setiap 12 bulan. Solusi kejahatan keuangan biasanya membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk menetapkan ritme deteksi dan pencegahan fraud setelah fase penerapan selesai. 

Organisasi biasanya akan terus memperluas pencegahan penipuan ke lebih banyak layanan atau saluran dan mengoptimalkan efektivitas akurasi deteksi penipuan serta meminimalkan friksi pelanggan. Untuk sistem yang memanfaatkan machine learning, dibutuhkan waktu untuk melatih kembali model deteksi tipologi penipuan baru. Dilakukannya pengaturan sistem inti secara berulang kali akan menciptakan kesenjangan yang membuat manajemen fraud kurang efektif.

Associate Vice-President, IDC Financial Insights, Michael Araneta,  mengatakan, lembaga keuangan sekarang beroperasi di pasar konsumen yang terdigitalisasi dengan cepat, dan mereka menghadapi risiko-risiko baru dalam kejahatan keuangan dan fraud. Mereka harus merespon dengan cara baru, agar dapat merespons dengan cepat dan efektif untuk mengurangi dampak yang merugikan bagi institusi maupun pelanggannya. 

"Untuk mencapai kecepatan dan efektivitas ini, mereka perlu mengumpulkan serangkaian solusi teknologi, keterampilan, dan kecerdasan dari mitra teknologi yang tepercaya. Pilihan untuk membangun, membeli, atau menyewa solusi ini tergantung pada bank berdasarkan kebutuhan bisnis, tetapi upaya yang diambil harus lebih intens dari sebelumnya, agar dapat mengatasi kejahatan keuangan modern dengan lebih efektif," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement