REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Bowo Pribadi/Jurnalis Republika
Memiliki keluarga yang dapat memahami tugas dan tanggungjawab sebagai tenaga kesehatan (nakes) merupakan berkah tersendiri bagi Dwi Puji Listyowati (42), salah satu nakes di Puskesmas Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Terlebih di saat angka kasus aktif Covid-19 meledak, di bulan Juni hinggga Agustus 2021 lalu. Selain nakes di puskesmas, ia juga mengemban tanggungjawab sebagai bidan desa yang mengampu pelayanan kesehatan masyarakat di lingkungan Desa Ngrapah, Kecamatan Banyubiru.
Bagaimana tidak, saat lonjakan kasus Covid-19 gelombang kedua tersebut terjadi, praktis waktunya lebih banyak tersita untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga terdampak. Sehingga --praktis-- urusan keluarga di rumah pun hampir tidak kebagian waktu.
Saat kasus Covid-19 meledak di bulan Juni hingga Agustus lalu, ia bekerja mulai pukul 06.30 WIB dan baru bisa pulang kembali ke rumah (paling cepat) pukul 19.00 WIB. "Bahkan saat angka kematian pasien positif Covid-19 melonjak, sebagai nakes di garda terdepan, ia juga harus siaga penuh 24 jam," ungkapnya, di Banyubiru, Kamis (16/12).
Itulah sebabnya, lanjut Dwi, pengertian serta dukungan keluarga --pada saat itu-- menjadi sesuatu yang paling penting. Sebab selain sebagai tenaga kesehatan di desa dan sangat dibutuhkan untuk penanganan pandemi, ia pun harus menjalankan peran sebagai seorang ibu yang memiliki tanggungjawab mengurus keluarga.
Di saat waktunya harus terkonsentrasi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, praktis urusan di rumahnya juga harus dinomorduakan. Karena tanggungjawab untuk menolong dan menyelamatkan orang lain menjadi sesuatu yang harus diutamakan.
Bahkan itu juga yang akhirnya jamak menjadi pemicu munculnya perdebatan di dalam keluarga. "Bagaimana pun juga, keluarganya tetap memiliki kekhawatiran, karena tanggungjawab yang harus dilaksanakan sebagai bidan desa tersebut memiiki risiko yang tinggi dan rentan ikut terpapar," katanya.
Sebagai bidan desa yang harus merawat dan menangani puluhan warga terpapar Covid-19 di empat dusun memang cukup menguras tenaga dan pikiran, terlebih pada saat itu juga muncul penularan klaster hajatan. Hingga akhirnya warga yang terpapar pun juga terus bertambah.
Setiap hari harus membantu melakukan tracing, memantau kesehatan warga yang terpapar mana yang memburuk dan butuh penanganan lanjutan, memastikan semua warga terdampak mendapatkan obat- obatan yang dibutuhkan. Setiap hari harus berkeliling dari satu tempat isolasi mamdiri (isoman) ke tempat isoman lainnya.
Belum lagi jika ada pasien terpapar Covid-19 yang meninggal dunia, ia pun harus selalu siaga 24 jam. Karena begitu ada kabar pasien positif Covid-19 di rumah sakit harus laporan kepada kepala puskesmas, memberikan laporan kepada wilayah serta ikut mengkondisikan lingkungan, memberikan pemahaman kepada masyarakat dan memotifasi keluarga pasien yang meninggal.
Tingginya aktivitas sebagai nakes yang bertanggungjawab pada penanganan Covid-19 ini, akhirnya juga membuat ibu dua anak tersebut tidak bisa luput dan ikut terpapar Covid-19, hingga harus menjalani treatment serta melaksanakan isolasi mandiri total selama 14 hari.
Menurutnya, itu merupakan suka duka yang harus dialami sebagai seorang ibu sekaligus nakes di garda terdepan penanganan Covid-19. Semua dilakukan atas dasar tanggungjawab profesi serta panggilan hati, mengingat fasilitas serta SDM kesehatan di wilayah pedesaan yang masih cukup terbatas.
Rutinitas yang semula merupakan tanggungjawab tambahan karena bencana non alam, pada akhirnya menjadi tanggungjawab rutin yang harus ditanganinya setiap hari. Namun semua itu dilakukannya dengan tulus dan ikhlas.
Dasarnya untuk membantu masyarakat yang sedang membutuhkan dukungan serta pertolongan karena pandemi Covid-19. "Sehingga, di balik semua itu peran dan dukungan keluarga --yang bisa memahami besarnya tanggungjawab profesi-- menjadi berkah bagi saya," tandasnya.