REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Sapta Aprilianto, menyoroti kesopanan selama persidangan yang menjadi pertimbangan majelis hakim untuk memberi hukuman lebih ringan kepada terdakwa. Seperti putusan yang dijatuhkan terhadap Rachel Vennya yang kabur dari tempat karantina setelah menyuap petugas, dan Gaga Muhammad dalam kasus kelalaiannya dalam berkendara yang mengakibatkan kecelakaan.
Sapta menyebut, keringanan yang didapat oleh dua figur publik tersebut memang termasuk hak putusan hakim. Namun demikian, kata dia, hakim selayaknya mempertimbangkan keringanan hukuman secara ketat. "Karena kalau hanya dengan alasan sopan lantas mendapat keringanan, maka itu tidak adil,” ujar Sapta, Jumat (14/1).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini juga menganggap, hakim yang mengutamakan sikap sopan untuk meringankan hukuman, akan mencederai nilai hukum. Hal itu tidak sesuai dengan nilai hukum yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Ia pun menjabarkan, faktor sebenarnya yang bisa meringankan hukuman seseorang yakni fakta-fakta hukum dan latar belakang terdakwa. Misalnya terdakwa selama ini berkelakuan baik dan melakukan kesalahannya dengan tidak ada niat buruk, maka layak mendapatkan keringanan hukuman.
"Memang secara formal bahwa undang-undang tidak mengatur keringanan yang demikian itu, namun hakim dapat mempertimbangkannya,” kata Sapta.
Terkait beberapa kasus yang dirasa tidak adil seperti terjadi pada Rachel Vennya dan Gaga Muhammad, kata Sapta, memang menimbulkan perbincangan di masyarakat. Hal itu menuai banyak kontra karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam hukum.
Namun mengenai rasa ketidakpuasan tersebut, Sapta menyebut hal itu berlaku sebagai hukum dan harus dihormati. “Jadi terdakwa hanya bisa mengajukan upaya banding atau kasasi terhadap putusan tersebut untuk kemudian dapat dilakukan peninjauan kembali,” ujarnya.
Sementara itu, apabila sikap hakim dirasa melanggar kode etik, maka menjadi kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk memberi tindakan. Itu pun terbatas pada kode etik dan tidak bisa mengubah putusan di persidangan.