REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, Selasa (25/1/2022) menyebutkan ada 198 Pondok Pesantren yang terindikasi terafiliasi dengan jaringan terorisme. Pernyataan itu langsung ditanggapi sejumlah kalangan dengan mengatakan bahwa BNPT anti-Pesantren. Bahkan ada pula yang menyebut hal itu sebagai narasi islamofobia.
"Tentu hal ini perlu dijernihkan agar masyarakat tidak terbawa narasi yang selalu mem-framing berbagai kebijakan untuk meningkatkan deteksi dini dan kewaspadaan dalam pengertian yang negatif," ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid akhir pekan lalu.
Menurut dia, sejatinya data yang disampaikan Kepala BNPT tersebut harus dibaca sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja sebuah institusi di depan anggota dewan yang mempunyai tugas pencegahan radikal terorisme.
Ia menjelaskan bahwa data tersebut merupakan hasil kerja pemetaan dan monitoring dalam rangka pencegahan radikal terorisme. Hal itu untuk memberikan peringatan dan meningkatkan kewaspadaan bagi semua stakeholder.
Apalagi, ungkap Nurwakhid, sebagai lembaga koordinator, BNPT telah menerapkan kebijakan dan strategi Pentahelix atau multipihak dengan merangkul dan melibatkan lima elemen bangsa, yakni pemerintah melalui kementerian/lembaga,komunitas melalui organisasi kemasyarakatan termasuk pondok pesantren, akademisi melalui pelibatan dosen, mahasiswa dan pelajar, dunia usaha melalui pelibatan perusahaan baik BUMN maupun swasta, serta media melalui pelibatan insan media baik cetak, elektronik dan digital.
"Dengan pendekatan multipihak tersebut, kebijakan dan program pencegahan yang dilakukan oleh BNPT dibangun atas prinsip simpatik, silaturahmi, komunikatif dan partisipatif dengan seluruh elemen bangsa," tutur Nurwakhid.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboe Bakar Alhabsyi meminta BNPT tidak menyebarkan informasi sensitif ke publik. Menurutnya informasi terkait dugaan temuan gerakan terorisme di pondok pesantren (ponpes) yang disampaikan Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar seharusnya disampaikan secara tertutup.
"Saya ingin ingatkan kepada BNPT kalau ada informasi itu cukup ditahan dulu nanti didengarkan, kalau mau bicara khusus dengan Komisi III, bicara, jangan di publik dikeluarkan. Sehingga kita bisa menyisir," kata Aboe.
Sekretaris Jenderal MUI Pusat Buya Amirsyah Tambunan mempertanyakan informasi terkait dengan ratusan pesantren yang disebut terafiliasi dengan terorisme. "Atas dasar apa pendataan tersebut, apa metodologinya, apakah merupakan hasil kajian resmi BNPT ? Banyak pihak mempertanyakan infomasi terasebut, karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat," kata Amirsyah.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla meminta BNPT untuk tidak menyamaratakan anggapan bahwa semua pondok pesantren terafiliasi dengan jaringan terorisme. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 itu meminta BNPT segera mengambil tindakan apabila menemukan pondok pesantren yang terbukti terpapar paham radikal dan terorisme.
"Ya tentu kalau ada buktinya, silakan (BNPT) ambil tindakan. Jangan kemudian hanya mengeluarkan isu, lalu semua pondok pesantren seperti dicurigai semuanya," kata JK.