REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa pandemi, kata burnout menjadi cukup populer. Menurut Psikolog Tatik Imadatus Sa’adati, istilah ini merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa terjebak pada rutinitasnya.
Kemudian ia mengalami kelelahan secara mental dan merasa butuh bantuan, hingga sampai pada titik tidak ingin lagi melakukan pekerjaan tersebut atau ingin melarikan diri dari situasi yang dihadapinya.
Burnout sendiri berbeda dengan stres. Stres yang negatif atau dikenal dengan distress akan membuat produktivitas seseorang menurun. Ketika tidak ada intervensi dan penyelesaiannya, maka distress akan berkembang menjadi burnout.
"Jadi, bisa disimpulkan burnout merupakan tumpukan stres yang negatif dan tidak ditangani dengan tepat," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (1/2/2022).
Meskipun awalnya banyak dipakai di kalangan para pekerja, seiring berjalannya waktu, kosakata burnout juga digunakan dalam dunia parenting, yakni parental burnout.
Psikolog yang akrab disapa Ima ini, menjelaskan ada beberapa pencetus orang tua bisa mengalami burnout, yaitu orang tua belum siap memiliki anak, tidak ada support system yang baik, dan kurang memiliki pengetahuan tentang dunia parenting.
Ada tiga tanda untuk mendeteksi orang tua mengalami parental burnout. Pertama, orang tua merasa lelah secara emosional. Walau secara fisik terlihat biasa saja, emosi sebenarnya tidak stabil dan tidak terkendali.
Beberapa ibu menganggap bahwa ia harus bisa semua karena ia adalah seorang ibu. Padahal, itu termasuk dalam irrational thinking. “Pikiran kita terbatas, badan kita terbatas, emosi kita juga perlu di-charge,” ungkap Ima. Akibatnya, para ibu kadangkala tidak sadar kalau sedang lelah.
Jika kelelahan terus menumpuk, akan ada fase di mana alam bawah sadar tidak bisa lagi mengontrol pikiran dan perasaan kita. Ketika emosi sudah tidak stabil, maka otak depan akan kesulitan untuk memutuskan atau menyelesaikan sesuatu secara bijak.
Kedua, orang tua bisa bersikap negatif terhadap orang lain. Misalnya, jadi sinis, mudah marah, dan tersinggung. Ketiga, produktivitas akan menurun atau pencapaian individu berkurang. Salah satu contohnya, orang tua jadi suka overthinking.
Jangan sepelekan
Burnout yang dialami orang tua tidak boleh diabaikan karena dapat berkembang menjadi bermacam-macam gangguan, di antaranya psikosomatik, depresi, gangguan kepribadian, hingga keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Misalnya, ketika ibu overthinking terus menerus karena ingin menjadi ibu yang baik dan segalanya berjalan sempurna, bisa jadi ia akan menyalahkan diri sendiri. Bentuk yang paling ekstrem dari menyalahkan diri sendiri adalah melakukan self harm atau menyakiti diri sendiri. Bahkan, bisa berkembang menjadi keinginan untuk menyakiti bayinya sebab merasa itulah yang menjadi sumber kelelahannya, lalu berujung pada menghilangkan nyawa sendiri atau nyawa sang bayi.
Ima mengungkapkan, normal apabila sekali waktu ibu merasa lelah, sedih, butuh orang lain, atau ingin me time. Terbukalah dengan support system ketika membutuhkan bantuan atau atur strategi dengan pasangan, apa yang bisa dilakukan agar tidak sampai burnout.
Saat merasa burnout, yang pertama bisa dilakukan adalah rehat sejenak dari situasi tersebut. Mintalah orang lain untuk menggantikan peran ibu untuk sementara waktu dalam mengasuh si kecil.
Kemudian, lakukan sesuatu yang pasti akan membuat ibu senang dan membuat baterai emosi kembali stabil. Misalnya, ibu merasa lebih baik ketika dipeluk oleh suami, maka jangan ragu untuk minta dipeluk suami. Terkadang, perlu juga untuk tidak melakukan apa pun alias bermalas-malasan saja. Seberapa lamanya, tergantung kebutuhan sang ibu.