Senin 07 Feb 2022 09:13 WIB

Kajian, Sego Macan, dan Jogokariyan

Sego macan menjadi menu khas yang rutin disajikan ke jamaah sebelum kajian dimulai.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Menu sego macan yang disajikan saat kegiatan kajian bada Subuh di Masjid Jogokariyan Yogyakarta.
Foto: Wahyu Suryana
Menu sego macan yang disajikan saat kegiatan kajian bada Subuh di Masjid Jogokariyan Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Masjid Jogokariyan Yogyakarta dikenal memiliki sangat banyak inovasi kegiatan. Kajian, tetap menjadi salah satu kegiatan yang paling sering digelar dan diselenggarakan di aula masjid setelah pelaksanaan shalat wajib berjamaah.

Tidak cuma shalat-shalat wajib, kajian-kajian yang digelar Masjid Jogokariyan dikenal pula selalu diramaikan jamaah. Bahkan, kajian yang digelar setelah pelaksanaan shalat Subuh menjadi salah satu yang paling ramai dinanti jamaah.

Biasanya, setelah shalat berjamaah, jamaah pria yang menempati bagian dalam masjid diminta berpindah tempat dengan jamaah wanita. Sehingga, jamaah wanita bisa mengikuti kajian di atas karpet hangat, sedangkan jamaah pria di aula.

Pada 5 Februari 2022 malam, kajian diisi Ketua PP Muhammadiyah, Dr Anwar Abbas, dan Ketua Dewan Syuro Takmir Jogokariyan, Ustaz Muhammad Jazir. Dibuka kalam Alquran dari imam muda Ustaz Wafi Abdulquddus dan dipandu MC Gitta Welly Ariadi.

"Monggo bapak-bapak ke sebelah sini (ubin), ibu-ibu ke sebelah sana (karpet)," kata Gitta, menyilakan jamaah menempati posisi sebelum pembicara dihadirkan.

Namun, ada yang berbeda dari kajian di Masjid Jogokariyan. Sebab, takmir biasa menyediakan makan malam yang dapat dinikmati setiap jamaah yang datang, dan sego macan menjadi menu khas yang rutin disajikan ke jamaah sebelum kajian dimulai.

Selain jamaah-jamaah masjid, kerancang besar berisi sego macan biasa diletakkan di meja-meja di depan atau pinggir Jalan Jogokariyan. Ini memudahkan masyarakat lain seperti pemulung yang sedang melintas agar dapat pula menikmati sego macan.

Usai menempati posisi, sego macan seakan jadi pengganti kata sapa bagi jamaah yang tidak melulu mengenal satu sama lain. Sebab, Jogokariyan selalu menerima kunjungan jamaah yang datang dari luar kota, luar provinsi, maupun luar pulau.

Bersama teh hangat, sego macan dibagikan dari satu jamaah ke jamaah lain, dari ujung depan sampai ke ujung belakang. Dari sini, walaupun tidak saling kenal, jamaah sudah mulai bertukar senyum dan sapa dengan jamaah di kanan dan di kiri.

Kuliner bernama sego macan sendiri merupakan pelesetan nasi kucing yang biasa menjadi panganan sederhana DIY atau Jawa Tengah. Biasanya, nasi kucing hanya berisikan nasi porsi kecil ditambah satu jenis lauk dan dibungkus daun pisang.

Sedangkan, sego macan, walau sama-sama dibungkus daun pisang memiliki porsi nasi yang lebih banyak. Di Masjid Jogokariyan, sego macan yang biasanya disajikan ke jamaah berisikan lauk telur dadar, bihun goreng, tempe orek, dan sendok plastik.

"Masnya sampun njih (Mas sudah dapat ya)," jadi kalimat tanya yang paling sering diucap jamaah satu ke jamaah lain, memastikan semua sudah menerima nasi dan teh.

Setelah semua jamaah dipastikan mendapatkan sego macan dan teh hangat, satu demi satu bungkus pisang dibuka. Biasanya jamaah makan dengan mengangkat bungkus nasi dan membuka hanya satu sisi lipatan, sehingga tidak berantakan atau berserakan.

Menikmati sego macan bersama, ditemani seduhan teh manis, ternyata selalu mampu menghangatkan suasana dingin malam. Setelah selesai disantap, bungkusan daun pisang biasanya diletakkan dalam gelas kecil bekas teh agar tidak mengotori.

Setelah menyampaikan pengantar, Ustaz Jazir tiba-tiba menanyakan jamaah mana yang datang dari luar daerah. Ternyata, jamaah yang datang dari daerah terjauh diberikan oleh-oleh berupa sajadah batik tulis khas dengan corak Jogokariyan.

Seketika, satu demi satu jamaah yang berasal dari luar daerah mengangkat tangan. Mulai jamaah yang datang dari Bangka Belitung, Palembang, Sulawesi Tengah, sampai jamaah dari Tarakan semuanya disilakan maju untuk mengambil oleh-oleh tersebut.

Pada kesempatan itu, Jazir menceritakan sosok Pak Raiso, ulama dari Minang yang dikenalnya semasa kecil. Dari sosok itu, mereka mendengar kisah keindahan suro-suro (masjid/mushala) Tanah Minang yang dijadikan tempat berkegiatan masyarakat.

Cerita itu pula yang menginspirasi tokoh-tokoh Masjid Jogokariyan yang kala itu masih anak-anak bermimpi memiliki masjid sebagai pusat kegiatan. Jazir bercerita pula terkait prajurit-prajurit yang biasa dampingi agenda-agenda yang digelar.

"Mereka berbaju Jogokaryo, awal mula nama Jogokariyan, dan prajurit terbesar di Keraton Yogyakarta zaman dulu," kata Jazir, menegaskan Jogokariyan senantiasa melestarikan budaya, termasuk lewat huruf-huruf Jawa di logo Masjid Jogokariyan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement