Selasa 08 Feb 2022 19:13 WIB

'Jelang Pemilu 2024, Regresi Demokrasi Mesti Ditangani'

Andre berpendapat regresi demokrasi harus dicegah dengan partisipasi aktif masyarakat

Acara bedah buku
Foto: dokpri
Acara bedah buku "Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi (Democracy in Indonesia from Stagnation to Regression?)" yang digelar Forum Diskusi Salemba Policy Center Iluni UI, Sabtu (5/2/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) Andre Rahadian  mengatakan, ada kecenderungan demokrasi saat ini menurun atau regresi secara perlahan, baik dari atau atau bawah. Menurutnya, menjelang Pemilu 2024, regresi demokrasi yang terjadi harus segera ditangani. 

"Kita tahu sebentar lagi 2024 ada pemilihan lagi. Regresi perlahan ini harus segera ditangani dan ada yang mengingatkan. Kita sebagai anggota masyarakat punya kewajiban untuk mengambil peran agar regresi tidak semakin jauh," ungkap Andre dalam sambutannya di acara bedah buku "Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi (Democracy in Indonesia from Stagnation to Regression?)" Forum Diskusi Salemba Policy Center Iluni UI, akhir pekan lalu.

Untuk itu, Andre berpendapat regresi demokrasi harus dicegah dengan partisipasi aktif masyarakat. Salah satunya, dengan terus berusaha mengedepankan persamaan dan kesatuan dibandingkan perpecahan. Iluni UI juga berupaya mencegah regresi demokrasi dengan mengedepankan persatuan melalui gerakan Kohesi Kebangsaan yang telah digagas sejak Oktober lalu. 

"Kita mengajak seluruh elemen masyarakat, alumni, seluruh stakeholder yang terkait demokrasi untuk sama-sama membangun kohesi. Kita tidak perlu sama, dan perbedaan harus dihargai. Tapi bagaimana kita mengedepankan persamaan dan kesatuan, itu yang lebih penting," katanya.

Ketua Policy Center Iluni UI M Jibriel Avessina memaparkan, demokrasi menjadi salah satu fokus Policy Center Iluni UI terlebih setelah membaca buku "Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi (Democracy in Indonesia from Stagnation to Regression?)". Menurutnya, masyarakat sipil harus mendorong agar demokrasi berjalan lebih efektif. 

Regresi demokrasi itu sendiri ada dari atas (from above) yang merupakan ranah partai politik dan pemerintahan, serta dari bawah (from below) yang harus jadi refleksi bersama.  Dia juga mendorong untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang ada hari ini, seperti kebebasan sipil, politik identitas yang marak, dan sektarianisme. "Policy center bersama masyarakat sipil akan selalu berjuang dan mohon dipandu untuk langkah-langkah apa yang harus dilakukan ke depan," kata Jibriel.

Pegiat gerakan sosial Anita Wahid menjelaskan, buku "Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi (Democracy in Indonesia from Stagnation to Regression?)" sangat penting untuk dibaca karena memotret Indonesia dari berbagai aspek. Buku tersebut disusun dari hasil diskusi para Indonesianis dari seluruh dunia yang berkumpul pada acara Indonesia Update di Australia pada 2019. Buku ini tak hanya berbicara mengenai demokrasi sebagai kebebasan berekspresi dan bersuara atau demokrasi elektoral, tetapi juga hampir membedah semua aspek lainnya.

"Buku ini berjudul dari stagnasi ke regresi itu sebenarnya ada tanda tanya di belakang judulnya. Apakah benar kita sedang mengalami penurunan ini? Apakah tanda-tanda ini riil dan bertambah, dan membuat kita benar-benar perlu lihat bahwa kemunduran demokrasi ini bukan lagi kemunduran tapi menuju kehancuran demokrasi?" kata Anita.

Anita mencatat, dari 17 artikel yang ada dalam buku, salah satu hal yang menarik adalah adanya pembahasan tentang aspek polarisasi dan populisme. Misalnya, dalam penanganan Covid-19, polarisasi terlihat dalam pengambilan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. "Berseteru terus dan sengaja dihadirkan ke publik. Ujung-ujungnya adalah bukan usaha untuk menangani Covid dengan sinergi melainkan mengukuhkan posisi polarisasi dan populisasi," ujarnya.

Lebih jauh, pegiat gerakan sosial Asfinawati mengupas lima dimensi demokrasi yang dipaparkan dalam buku yang diedit Thomas Power dan Eve Warburton tersebut, yakni elektoral, liberal, deliberatif (secara musyawarah), partisipatoris, dan egaliter. Kelima aspek ini menyertakan bukti-bukti seperti yang tercantum pada tulisan dalam buku tersebut yang berjudul "Damn’s Letter". 

"Jokowi disebut dengan tangan besi, tidak terbayang jika hal tersebut ditulis orang Indonesia, apa yang akan diterima oleh dia," ucapnya.  

Berdasarkan tulisan Eve Warburton, disebutkan juga penggunaan berbagai instrumen seperti kita versus mereka, musuh negara, memburuknya polarisasi afektif yang menghasilkan luaran yang merugikan seperti misalnya menurunnya kualitas lembaga demokrasi. Polarisasi dinilai juga memiliki dimensi yang horizontal.  

Pakar Filsafat Politik Donny Gahral Adian mengatakan, polarisasi menjadi hal yang pasti dialami semua pemerintahan sesudah Orde Baru. "Pertama polarisasi politik antara penguasa dan oposisi. Kedua polarisasi lama, yakni mereka yang menggunakan agama dan berpikir secara sekuler," jelasnya. 

Adapun terkait demokrasi pada pemerintahan Jokowi, Dony menyadari ada banyak kritik. Menurutnya, sekilas periode Jokowi seperti kembali kepada masalah ekonomisme pada zaman pemerintahan Soeharto. Kesenjangan ekonomi dinilai memiliki relasi erat dengan kebebasan. Akses terhadap informasi yang masih kurang juga berpengaruh terhadap terbatasnya kebebasan berpendapat yang memerlukan dukungan infrastruktur ekonomi. 

"Dua periode ini banyak sekali kritik dan respons kritis dari masyarakat. Pemerintah Jokowi terus berupaya mengevaluasi, mengoreksi hal-hal yang memang dirasakan masih perlu disempurnakan dalam demokrasi," kata Donny.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement