REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur (Jatim) melaksanakan kegiatan ekskavasi di Situs Srigading, Dusun Manggis, Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Kegiatan ini akan berlangsung selama enam hari, yakni dari 7 sampai 12 Februari 2022.
Ketua Tim Ekskavasi Situs Srigading, Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan, keberadaan Situs Srigading sebenarnya sudah diketahui masyarakat sejak lama. BPCB pertama kali mendapatkan laporan dari pemerhati budaya pada 1985 atau 1986. "Pak Sur yang ke sini dan melihat ada keberadaan situs yang berada di gundukan tanah," kata pria yang disapa Wicak ini saat ditemui wartawan di lokasi ekskavasi, Kamis (10/2/2022).
Saat itu, Situs Srigading masih mempunyai satu yoni dan tiga arca. Pertama, arca perempuan dengan banyak tangan atau diidentifikasi sebagai Durga. Kemudian arca sapi tanpa kepala atau Nandi dan arca yang membawa pentungan atau diidentifikasi sebagai Dwarapala.
Selain itu, juga masih ada satu yoni dan lingga di Situs Srigading. Menurut Wicak, laporan tersebut langsung diterima untuk kemudian ditinjau oleh Dinas Purbakala di Trowulan, Jawa Timur (Jatim). Namun entah mengapa saat itu tidak dilakukan ekskavasi sehingga diabaikan begitu saja.
Meskipun demikian, banyak masyarakat dan pemerhati budaya yang rutin datang ke Situs Srigading. Hal ini karena masyarakat setempat masih menganggap keramat situs tersebut sampai sekarang. "Lalu pada 2019 saya pernah ke sini. Saat itu ekskavasi di (Situs) Sekaran, kemudian ke sini, dan mendapatkan laporan dari teman-teman komunitas," jelasnya.
Tim BPCB Jatim mulai merencanakan ekskavasi tapi langsung tertunda setelah Covid-19 menerjang Indonesia. Kemudian pada tahun ini, tim BPCB pun bisa melaksanakan ekskavasi dengan Yayasan Kaloka sebagai donaturnya. Dengan adanya kegiatan ini, pihaknya, yayasan dan masyarakat tentu ingin melihat ada potensi candi atau tidaknya di situs tersebut.
Selain untuk melihat bentuk asli situs, ekskavasi juga ditunjukkan agar tidak ada pencurian di Situs Srigading. Pasalnya, arca yoni sempat akan dicuri oleh oknum tidak bertanggung jawab pada 2020. Kemudian arca berhasil dikembalikan oleh masyarakat untuk kemudian dicor bagian bawahnya agar tidak mudah diambil.
"Sehingga upaya untuk menampakkan situs ini menjadi sangat penting dan perlu segera dilakukan sebelum ini kemudian hilang dari wilayah Kabupaten Malang," ucapnya.
Dibangun pada Masa Mataram Kuno
Pada kegiatan ekskavasi ini, Tim BPCB Jatim membuka gundukan tanah sekitar 10 x 10 meter. Dari hasil pembukaan, tim menemukan satu sudut bangunan yang menyerupai candi. Ada profil half moon layaknya arsitektur candi sehingga pihaknya menyimpulkan sementara seperti itu.
Pada bukaan tanah situs juga terlihat banyak sekali pecahan atau runtuhan bata. Kondisi ini menandakan candi ini memiliki bagian bawah (kaki), badan dan atap. Bagian badan dan atap candi diduga runtuh dan berserakan di semua sisi candi. Kemudian hanya menyisakan bagian kaki dan tengah yang di dalamnya terdapat arca yoni.
Selanjutnya, tim juga menemukan satu profil relief yang menggambarkan muka dengan penutup kepala. Berdasarkan hasil identifikasi sementara, relief tersebut menunjukkan gaya bas relief atau natural dengah bentuk wajah begitu muncul. Hal ini berbeda dengan jenis bas relief Jawa Timuran yang biasanya berbentuk pipih seperti wayang.
"Dan itu mencirikan gaya-gaya relief Mataram Kuno, sekitar abad ke-10," ungkapnya.
Wicak juga menduga candi ini masih berkaitan dengan prasasti Linggasutan yang ditemukan di Dusun Lowokjati. Lokasi prasasti ini tidak jauh dari Desa Srigading. Tim menduga desa ini luas sebelum terjadi pemekaran seperti sekarang.
Prasasti Linggasutan sudah dipindahkan pada masa Belanda. Kemudian prasasti saat ini telah berada di Museum Nasional dengan nomor inventaris D103.
Menurut Wicak, prasasti tersebut berisi permohonan dari Rakai Hujung (penguasa daerah) untuk dilaksanakannya pembebasan pajak di Desa Linggasutan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan pemujaan bangunan suci Bhatara i Walandit. "Apakah bangunan suci Bhatara i Walandit itu merujuk pada candi yang kita temukan di Srigading ini, ini yang masih terus kami telusuri," kata Wicak.
Namun berdasarkan ciri-ciri arca yang ditemukan, candi di Srigading ini mempunyai gaya Mataram Kuno. Hal ini sesuai dengan isi prasasti Linggasutan yang ditulis pada 929 masehi atau era Mpu Sendok.
Serupa dengan gaya relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan, ukuran bata di Situs Srigading juga cukup besar. Bata setidaknya mempunyai panjang 15 centimeter (cm), lebar 22 cm dan tebal sekitar 10 sampai 11 cm. Sebab itu, pihaknya mengidentifikasikan bata ini berasal dari masa pra-Majapahit atau Mataram Kuno.
Jika dilihat letak arah bangunan, candi ini berada di tengah-tengah empat gunung suci. Keempat gunung tersebut, yakni Gunung Arjuno, Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Kawi. Menurut Wicak, orientasi letak bangunan candi ini sangat mengikuti arah gunung suci di sekitarnya.
Jika indikasinya memang ada tangga di bagian sisi barat, candi ini kemungkinan menghadap ke Gunung Arjuna dan membelakangi Gunung Semeru. Jika demikian, maka ini agak cocok dengan isi prasasti Linggasutan. Candi ini ditunjukkan untuk menjadi tempat pemujaan bagi Bhatara i Walandit atau suatu tokoh yang disebut Walandit.
Walandit sendiri merupakan kisah yang sangat menarik dalam dunia sejarah. Sejarah Malang banyak menyebutkan nama tersebut di sejumlah peninggalan sejarah. Bahkan, Suku Tengger menyebut bahwa mereka sebenarnya asli suku Walandit.