Rabu 16 Feb 2022 15:29 WIB

Hak Atas Pendidikan Harus Diberikan Bagi Anak yang Menikah di Bawah Umur

Sebagian besar pernikahan di bawah umur terjadi dikarenakan hamil di luar nikah.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Muhammad Fakhruddin
Hak Atas Pendidikan Harus Diberikan Bagi Anak yang Menikah di Bawah Umur (ilustrasi).
Foto: Republika
Hak Atas Pendidikan Harus Diberikan Bagi Anak yang Menikah di Bawah Umur (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta mengatakan, hak anak untuk meneruskan pendidikan harus diberikan bagi anak yang menikah di bawah umur. Setidaknya, kata Edy, wajib belajar 12 tahun harus tetap terlaksana. 

Penuntasan pendidikan ini, dinilai menjadi tanggung jawab keluarga. Kepala DP3AP2KB Kota Yogyakarta, Edy Muhammad mengatakan, keluarga diharapkan tetap membimbing dan tidak meninggal anak di bawah umur setelah menikah.

Baca Juga

Hal ini dikatakan mengingat masih cukup banyaknya pernikahan anak di bawah umur di Kota Yogyakarta. Bahkan, sebagian besar pernikahan di bawah umur terjadi dikarenakan hamil di luar nikah.

"Hak-hak anak kita juga merekomendasikan untuk tetap bisa berjalan, sebagai contoh pendidikannya. Misalnya mereka pindah sekolah atau kejar paket, yang penting wajib belajar 12 tahun tetap tercapai dan melanjutkan pendidikan sampai selesai harus terlaksana dan masuk tanggung jawab keluarga," kata Edy di Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Rabu (16/2).

 

Ia menjelaskan, permohonan dispensasi nikah untuk anak di bawah umur sendiri tidak hanya diharuskan ke Kementerian Agama dan Pengadilan Agama Kota Yogyakarta. Namun, juga harus ada arahan dan pendampingan dari psikolog yang disiapkan DP3AP2KB Kota Yogyakarta.

Menurut Edy, pendampingan psikolog ini dilakukan mengingat masih banyaknya pasangan anak di bawah umur yang tidak siap menjalani kehidupan rumah tangga setelah menikah. Namun, pendampingan orang tua menjadi hal krusial dan utama meskipun anak sudah menikah.

"Anak yang menikah usia 18 ke atas begitu didampingi psikolog relatif lebih siap, tapi begitu di bawah usia 18 rata-rata mereka belum tahun setelah menikah mau kemana. Yang paling utama adalah orang tuanya itu tidak boleh meninggalkan anaknya setelah menikah, mereka sebetulnya masih perlu bimbingan orang tua," ujarnya.

Dalam menekan angka pernikahan anak di bawah umur, pihaknya juga melaksanakan berbagai program. Program dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk anak itu sendiri.

Melalui anak, pihaknya mengupayakan pembentukan Forum Anak Kota Yogyakarta, pembentukan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) hingga pembentukan Sekolah Ramah Anak (SRA).

Upaya yang dilakukan melalui anak tersebut, anak juga diminta aktif untuk berperan sebagai pelapor dan terlapor. "Kami upayakan lewat anak itu sendiri, karena lewat anak berarti mereka saat di sekolah maupun saat di lingkungan wilayahnya atau saat mereka di keluarga," jelas Edy.

Selain itu, juga dilaksanakan berbagai program melalui Forum Generasi Berencana (Genre) dan pembentukan Pola Asuh Anak dan Remaja di Era Digital (PAAR EDI). Perlunya pola asuh anak dan remaja di era digital, kata Edy, mengingat gadget yang saat ini sangat leluasa digunakan oleh anak dan memiliki dampak yang besar terhadap pembentukan perilaku anak.

Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2020, Edy menyebut, 71 persen anak memiliki gadget sendiri meskipun difasilitasi dari orang tua. Hanya 17,1 persen yang dipinjam dari orang tua.

"Bahkan (orang tua) membebaskan penggunaan gadget (kepada anak) yang mencapai 79 persen, dan yang diatur (penggunaannya) hanya 21 persen," tambah Edy.

Pihaknya juga membentuk rumah ibadah ramah anak dan rutin menyelenggarakan sosialisasi dalam rangka menekan pernikahan anak di bawah umur, serta kegiatan parenting. Termasuk bersinergi dengan berbagai komunitas dan organisasi yang juga konsen terhadap permasalahan perempuan dan anak seperti Muhammadiyah dan 'Aisyiyah.

"Organisasi masyarakat itu kita ajak, jadi yang berperan tidak hanya Pemkot Yogyakarta, tapi juga masyarakat luas. Dukungan psikolog di 18 puskesmas yang ada di Kota Yogyakarta juga ada," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement