REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf sepenuhnya kepada Indonesia, Kamis (17/2) waktu setempat. Kementerian Luar Negeri RI menanggapi permintaan maaf yang didasarkan dari temuan sejarah yang menunjukkan bahwa Belanda menggunakan "kekerasan ekstrem" dalam merebut kembali wilayah bekas jajahannya termasuk Indonesia pada 1945-1949 itu.
"Pemerintah Indonesia mengikuti dari dekat publikasi hasil penelitian sejarah "Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950" yang dilakukan oleh tiga lembaga peneliti Belanda (KITLV, NIMH dan NIOD) dan beberapa peneliti Indonesia," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah dalam keterangan persnya, Jumat (18/2).
"Kami tengah mempelajari dokumen tersebut agar bisa memaknai secara utuh statement yang disampaikan PM Rutte tersebut," ujarnya menambahkan.
Faizasyah merujuk pada tiga lembaga peneliti Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV), The National Institute of Mental Health (NIMH), dan NIOD Institute for War, Holocaust and Genocide Studies (Institut NIOD untuk Pembelajaran Perang, Holokaus dan Genosida) dan sejumlah peneliti Indonesia.
Temuan sejarah menunjukkan bahwa militer Belanda terlibat kekerasan yang sistematis, berlebihan, dan tidak etis semasa perjuangan Indonesia pada 1945-1949. Tindakan itu bahkan diterima dan dimaklumi oleh Pemerintah Belanda dan rakyatnya saat itu.
Penelusuran bersejarah ini didanai Pemerintah Belanda pada 2017. Proses itu dilakukan oleh lebih dari 20 akademisi dan ahli dari kedua negara, lalu dipresentasikan di Amsterdam, Kamis.