REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penegakan regulasi dinilai menjadi hal penting dalam transformasi kebijakan pengelolaan sampah. Salah satunya yakni regulasi dalam menekan perusahaan untuk berubah dan beradaptasi di mana sampah adalah tanggung jawab produsen, produksi plastik plastik virgin untuk plastik sekali pakai dilarang, serta reuse atau refill adalah norma baru.
"Kami menyusun panduan penyusunan peraturan pembatasan plastik sekali pakai, agar dapat memberikan arahan kepada pemerintah daerah terkait bagaimana cara menyusun peraturan pelarangan plastik sekali pakai yang baik. Dimulai dari perencanaan, perumusan, pengawasan hingga evaluasi," ujar Toxic Program Officer Nexus3 Foundation, Adi Septiono, dalam webinar bertajuk Pentingnya Transformasi Kebijakan Dalam Mendukung Pengelolaan Sampah Yang Berkelanjutan yang diselenggarakan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Kamis (24/2/2022).
Kasus sampah impor saat ini menambah permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia. Berdasarkan sebuah investigasi, ekspor limbah kertas bekas dari Amerika Serikat ke pabrik kertas di Jawa Timur sejak tahun 2019 menurun secara signifikan. Namun sebagian besar ekspor sampah atau 83 persen kertas tersebut sampai di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
"Pemerintah perlu memperkuat pemantauan dan pengendalian pembuangan sampah plastik di Jabodetabek dan Jawa Timur secara teratur untuk memastikan proses daur ulang dilakukan dengan prosedur yang ramah lingkungan," kata Adi Septiono menambahkan.
Hasil riset yang dilakukan Greenpeace Indonesia, hampir 70 persen responden ingin beralih ke produk reuse dan sistem reuse seperti bulkstore atau refill store.
"Hal ini menjadi sinyal penting untuk produsen, bahwa semakin banyak masyarakat sudah teredukasi dan menyadari bahaya dari plastik sekali pakai. Apalagi dalam riset terbaru kami terkait ancaman mikroplastik pada galon sekali pakai, kami menemukan adanya partikel mikroplastik pada seluruh sampel galon sekali pakai sebanyak 85 juta-95 juta partikel per liter," kata peneliti Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi.
Dalam webinar tersebut, sebanyak 21 laporan secara resmi dipublikasikan dan dapat diakses di situs web AZWI. Laporan-laporan ini merupakan hasil dari riset-riset yang dilakukan oleh anggota AZWI antara lain YPBB, Gita Pertiwi, PPLH Bali GIDKP, ICEL, Greenpeace Indonesia, Nexus3 Foundation, ECOTON dan WALHI. Terdapat tiga strategi utama yang menjadi fokus laporan-laporan ini yaitu memperjuangkan zero waste cities, advokasi hulu dan plastik sekali pakai, serta menolak berbagai solusi semu.
Dengan beberapa kajian dan juga buku panduan terkait Penerapan zero waste cities, AZWI berharap dapat mendorong perubahan tata kelola pengelolaan sampah di tingkat kota/kabupaten bagi pemerintah daerah dan LSM lokal, sehingga pengembangan model zero waste cities dapat dilakukan yang secara bertahap.
"Kami juga menekankan pentingnya tahap-tahap yang perlu dilakukan untuk mengembangkan model pengelolaan sampah terpilah," kata Direktur Harian YPBB, Fictor Ferdinand.
Sejak tahun 2017, AZWI muncul sebagai gerakan kolektif dari lembaga-lembaga nonprofit di Indonesia yang sudah berpengalaman dalam menyelesaikanmasalah sampah dari tingkat advokasi hingga ke tapak.
"Kami bersama-sama mengusung alam nusantara yang berkelanjutan dan sehat, melalui peradaban yang secara adil memanfaatkan sumber daya alam sehemat mungkin, hanya menggunakan material yang aman, dan tidak membuang apapun," kata Co-coordinator AZWI, Rahyang Nusantara.
Rahyang menambahkan, terdapat enam isu strategis yang menjadi fokus dan ciri khas dalam mendefinisikan konsep Zero Waste by AZWI, yaitu advokasi tingkat hulu atau petrokimia, plastik sekali pakai, zero waste cities, sampah impor, solusi semu, dan transisi yang berkeadilan.
Saat ini, hanya sembilan persen sampah plastik yang dapat didaur ulang, 12 persen dibakar dan 79 persen berakhir begitu saja di TPA dan lingkungan. Penanganan sampah plastik tidak cukup hanya dibebankan pada pengelolaan hilir saja, melainkan pengurangan produksi dari sisi hulu harus menjadi langkah prioritas.
"Pada tahun 2022 ini, AZWI fokus pada kampanye advokasi kepada produsen. Salah satu jenis sampah yang selalu kami temukan ketika kegiatan pungut sampah adalah sachet atau plastik multilayer. Fokus kampanye tahun ini adalah untuk mendorong produsen untuk dapat berkomitmen secara ambisius untuk membatasi, bahkan tidak lagi menggunakan sachet sebagai kemasan produk. Selain kemasan sachet tidak bisa didaur ulang secara berkelanjutan dan aman, banyak solusi lain yang bisa dipilih sebagai kemasan produk. Konsep guna ulang dan isi ulang saat ini sudah menjadi tren dunia dan sebaiknya bisa dicontoh oleh para produsen," kata Co-coordinator AZWI, Nindhita Proboretno.