Kamis 03 Mar 2022 18:59 WIB

'Pemindahan Ibu Kota tak Jamin Bersih dari Pemusatan'

Nafsu pemerintah memusatkan semua sektor menjadikan kekuatan lokal melemah.

Rep: My40/My41/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim dalam acara
Foto: Tangkapan layar Zoom
Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim dalam acara

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemindahan ibu kota negara Indonesia ke Kalimantan, yang kini dinamakan IKN Nusantara, masih menuai polemik. Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim, menyetujui pemindahan ibu kota negara dari Pulau Jawa dikarenakan kepadatan penduduknya yang sangat tinggi. 

Namun, yang menyebabkan persoalan ini menjadi rumit secara politik adalah problema pemusatan. DKI Jakarta menjadi overload sejak tahun 1960-an ketika sektor pemerintahan, bisnis dan ekonomi, kebudayaan, bahkan pendidikan pun ingin dipusatkan di ibu kota negara.

"Problem politiknya adalah saat nanti kita pindah pun jika masih tetap dibarengi dengan logika pemusatan, itu percuma. IKN Nusantara hanya dalam 50 tahun akan menjadi seperti Jakarta yang kita kenal sekarang," tutur Abdul Gaffar, dalam acara "Diskusi Publlik #1: Pindah Ibukota Negara di Mata Cendekiawan Jogja" via Zoom Meeting, Selasa (1/3/2022).

Lebih lanjut, Gaffar mengungkap, ada dua macam pemusatan yang perlu diperhatikan. Pertama adalah pemusatan vertikal, yaitu kuasa yang sangat besar di pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak cukup berpengaruh. Kedua adalah pemusatan horizontal, yaitu ketika semua sektor berpusat di Jakarta. 

Nafsu pemerintah untuk memusatkan semua sektor menjadikan kekuatan-kekuatan lokal di Indonesia melemah. Jakarta menguat tetapi akhirnya juga menjadi lemah dengan cepat karena kehabisan daya dukung. 

Pemindahan ibu kota bernama IKN Nusantara pun tidak ada yang menjamin bersih dari pemusatan. Oleh karena itu, menurut Gaffar, Indonesia harus punya tiga pusat yakni pusat pemerintahan, pusat industri dan bisnis, serta pusat pendidikan dan kebudayaan.

"Dalam ilmu politik dan ilmu sosial ini bisa kita sebut sebagai polisentrik, yakni pusat tapi banyak karena Indonesia sangat luas. Jadi pusat-pusat itu harus tetap ada di beberapa titik, jangan ikut-ikutan pindah ke ibu kota negara IKN Nusantara," ungkapnya.  

Untuk diketahui, UU Nomor 3 Tahun 2022 menunjukkan bahwa alasan pindahnya ibu kota negara yaitu untuk mewujudkan tujuan bernegara, memperbaiki tata kelola wilayah ibukota negara, serta mewujudkan ibu kota negara yang aman, modern, berkelanjutan, berketahanan, serta menjadi acuan bagi pembangunan dan penataan wilayah lainnya di Indonesia.

Sementara itu, mantan Rektor UII, Nandang Sutrisno, mengatakan bahwa untuk efektifnya sebuah undang-undang, termasuk UU yang mengatur pemindahan ibu kota negara Indonesia ini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan berdasarkan aspek hukum.

"Hal pertama yang perlu diperhatikan yaitu normanya, apakah undang-undang tersebut efektif dari sisi perumusannya dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua adalah dari sisi kelembagaannya, apakah sudah bisa menopang berdirinya IKN secara baik. Kemudian yang ketiga adalah dari kultur hukumnya, dari masyarakatnya apakah mendukung atau tidak keberadaan dari ibukota baru ini," kata Nandang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement