REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Leptospirosis tergolong penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia atau zoonosis. Penyakit ini disebabkan infeksi bakteri leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia, dapat hidup di air tawar sekitar satu bulan.
Sejak awal tahun, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman sudah meminta masyarakat turut mewaspadai leptospirosis dan demam berdarah dengue (DBD), terutama saat peralihan musim penghujan. Apalagi, kedua penyakit itu memang merupakan endemik di Sleman.
Kepala Dinkes Sleman, Cahya Purnama mengatakan, sampai Maret 2022 sudah ada tiga kasus leptospirosis yang ditemukan di Kabupaten Sleman. Ia bersyukur, semua kasus yang dilaporkan bisa tertangani, sehingga tidak ada korban yang meninggal dunia.
Cahya menerangkan, leptospirosis diakibatkan kencing tikus dengan gejala-gejala seperti flu, suhu badan tinggi, nyeri di betis, mata berwarna merah atau kuning. Ia mengimbau warga yang merasakan gejala-gejala tersebut cepat memeriksakan diri.
Ia melihat, selama ini masyarakat kerap mengira gejala-gejala seperti demam yang mereka alami merupakan flu biasa. Tapi, ia mengingatkan, jika ada rasa nyeri di betis dan mata merah atau kuning, sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter.
"Lepto ini berawal dari air kencing tikus, sebenarnya dengan diberikan antibiotik sembuh, namun jika terlambat ditangani, maka bisa berbahaya dan berakibat fatal," kata Cahya, Ahad (6/3).
Walaupun belum ada laporan meninggal untuk kasus leptospirosis tahun ini, ia meminta masyarakat tetap waspada. Terutama, bagi mereka yang bertempat tinggal atau berkegiatan di lokasi-lokasi endemi dan biasanya banyak di persawahan.
"Setiap tahun ada kejadian meninggal. Kemarin di Minggir, Moyudan, Turi, tapi sekarang sudah mulai masuk ke Berbah juga ada," ujar Cahya.
Masa peralihan musim penghujan, Cahya turut meminta warga Sleman dapat mewaspadai DBD. Sepanjang 2021, terdapat 282 kasus DBD dengan satu meninggal dunia di Sleman. Jumlah ini cenderung menurun dibanding 2020 dengan 810 dengan dua meninggal dunia.
Jumlah DBD Januari 2022 sebanyak 75 kasus, lebih tinggi dari Januari 2021 dengan 27 kasus, lebih rendah dari Januari 2022 dengan 93 kasus. Ada empat kasus Februari 2022, turun drastis dibanding 25 kasus Februari 2021 dan 109 kasus Februari 2022.
Sebarannya, 4 kasus Gamping, 1 kasus Godean, 1 kasus Moyudan, 3 kasus Seyegan, 12 kasus Mlati, 14 kasus Depok, 4 kasus Berbah, 10 kasus Prambanan, 5 kasus Kalasan, 6 kasus Ngemplak, 8 kasus Ngaglik, 5 kasus Sleman, 5 kasus Tempel dan 1 kasus Turi.
Tahun ini, kasus akibat gigitan nyamuk aedes aegypti di Sleman kembali mengalami penurunan karena sampai Maret 2022 baru ada 79 kasus tanpa kasus meninggal dunia. Ia berpendapat, penurunan kemungkinan dampak dari penyebaran nyamuk ber-wolbachia.
"Program (Si Wolly Nyaman) diharapkan menurunkan angka DBD, baik angka kesakitan maupun angka kematian. Tahun lalu terbukti, tahun ini mudah-mudahan terbukti," kata Cahya.