Sabtu 19 Mar 2022 08:52 WIB

Pengamat UI: Pemerintah Mesti Dorong Kualitas Pelayanan Operator Telekomunikasi

Operator selama ini lebih memilih membayar denda daripada memperbaiki layanan.

Operator telekomunikasi (Ilustrasi)
Foto: Reuters
Operator telekomunikasi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masyarakat perseorangan maupun perusahaan sebagai pengguna jasa telekomunikasi seringkali mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Mulai dari kualitas jaringan yang naik turun hingga kadang membuat jengkel di saat yang dibutuhkan, hingga masalah keamanan data pengguna.

Masalah-masalah yang sering muncul tersebut, menurut pengamat kebijakan publik Riant Nugroho bukan semata-mata karena kesalahan industri telekomunikasi. Namun, karena kebijakan publik di sektor telekomunikasi hingga saat ini tidak cukup mendukung pengembangan industri dan layanan telekomunikasi yang memadai. 

“Ini sudah terjadi sejak lama, sejak UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi disahkan. Meski butuh waktu, yang pasti UU Telekomunikasi mesti diubah,”  kata Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) sekaligus Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) Riant Nugroho, dalam siaran pers, Sabtu (19/3/2022).

Riant memaparkan, selama ini pemerintah sebagai regulator tidak mengarahkan operator agar komitmen memberikan pelayanan yang bermutu. Peraturan yang ada justru menegaskan  bahwa jika ada pelayanan yang tidak bermutu maka operator wajib membayar denda kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo. Selanjutnya ini menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Kominfo.

“Kebijakan ini justru keliru. Terlihat sekali kalau kebijakan Kementerian Kominfo cenderung memperbesar PNBP daripada meningkatkan kualitas pelayanan publik,” katanya.

Mantan anggota BRTI ini memberikan gambaran terkait denda tersebut. “Misalnya, jika  upaya untuk meningkatkan pelayanan diperlukan anggaran sebesar Rp 100, sementara jika terjadi kesalahan dengan tidak memberikan pelayanan bermutu dikenakan denda Cuma Rp 10, tentu saja operator akan lebih memilih membayar denda daripada memperbaiki layanan. Itu yang terjadi hingga saat ini,” ujarnya. 

Melihat kondisi yang terjadi seperti itu, lanjut Riant bukan berarti tidak ada desakan untuk memperbaiki UU Telekomunikasi. RUU Telekomunikasi yang baru telah disiapkan pada periode 2012-2013. Pada RUU tersebut diusulkan untuk mendukung perbaikan pada tiga sektor, yakni industri telekomunikasi, pemerintah, dan masyarakat sebagai konsumen. 

“RUU ini untuk memperbaiki UU Telekomunikasi yang lama dimana hanya fokus pada satu pilar saja, yakni pemerintah. Dua pilar lainnya tidak tegak berdiri sehingga bangunan telekomunikasi tidak bisa berdiri tegak alias miring. Ini yang kita hendak tegakkan dengan memperkuat tiga pilar tersebut,” ujarnya. 

“Sayangnya, entah kenapa RUU yang ada di Kominfo tersebut tiba-tiba lenyap dan diganti dengan naskah yang baru, yang berbeda sama sekali dengan naskah RUU yang telah kita siapkan,” katanya.

Terkait banyaknya masalah yang terjadi di industri telekomunikasi, Riant menegaskan bahwa itu menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Menkominfo saat ini memiliki agenda yang sangat penting yakni menyiapkan kebijakan publik yang baru. 

Kebijakan ini harus bisa mengakomodasi berbagai persoalan di industri telekomunikasi saat ini maupun masa depan terutama dari sisi pelayanan industri telekomunikasi indonesia bagi pelanggan (masyarakat). Hal ini juga agar potensi ekonomi digital yang digadang-gadang hingga naik delapan kali di tahun 2030, yaitu di angka Rp 4.531 triliun bisa tercapai.

Kebijakan tersebut juga harus bisa mengurangi beban-beban regulasi kepada pelaku industri telekomunikasi. Terakhir, meniadakan berbagai UPT di Kemenkominfo yang berpotensi bersaing dengan pelaku industri telekomunikasi.  “Apa pun alasannya, tidak bisa dibenarkan jika regulator sekaligus menjadi operator atau pemain,” tuturnya.

Pada akhirnya, kata Riant, regulator telekomunikasi bukan hanya sekedar pelayanan karena regulasinya bersandar pada tiga dimensi. Pertama, memastikan industri tumbuh dengan sehat. Kedua, mengurangi regulatory charge. Ketiga, memberikan fasilitas dan dukungan agar pelayanan telekomunikasi semakin bermutu tinggi. 

“Ketiga dimensi tersebut harus tercakup dalam kebijakan yang baru yang lebih relevan,” ujarnya. 

Dengan adanya kebijakan publik baru tersebut, bisa menjaga ekosistem industri telekomunikasi, baik dari sisi dimensi kesehatan industrinya serta pelayanan yang bermutu tinggi termasuk proses bisnisnya yang wajar. Kemudian, diharapkan tarif telekomunikasi menjadi affordable, bukan hanya untuk masyarakat tapi juga berlaku untuk industri. 

“Yang tak kalah penting, yang namanya layanan telekomunikasi itu dikaitkan dengan masyarakat bukan dikaitkan dengan PNBP kementerian,” katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement