REPUBLIKA.CO.ID, BANYUWANGI -- Dosen Fakultas Kesehatan Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) Universitas Airlangga, Aditya Yudhana menciptakan inkubator untuk penetasan penyu. Aditya menjelaskan, latar belakang pembuatan inkubator tersebut karena program konservasi penyu menggunakan sarang secara alami dan semi-alami kerap bermasalah.
Sarang alami yang murni seleksi alam kerap terjadi permasalahan meliputi pasang air laut, predator alami di pantai, dan pengambilan atau perdagangan ilegal dari telur penyu. Sedangkan semi-alami memang lebih terlindungi, namun harus ada yang mengelola.
"Termasuk ketika pergantian pasir yang rutin dilakukan, kalau tidak diganti pasirnya maka akan rawan kontaminasi utamanya bakteri dan jamur. Pergantian pasir memerlukan tenaga dan biaya yang mahal karena kita butuh sarang luas untuk telur penyu,” kata dia dalam siaran tertulisnya, Senin (28/3).
Intan Box atau inkubator buatan, yang diciptakan Aditya dapat mengatur dan menjaga suhu serta kelembaban box sesuai yang diinginkan menggunakan panel control otomatis. Suhu optimum dapat mengatur rasio tukik jantan dan betina agar lebih seimbang.
"Karena suhu mempengaruhi jenis kelamin yang dihasilkan oleh reptile,” ujarnya.
Inovasi yang digagas Aditya tidak menggunakan media pasir sebagai media penetasan karena permasalahan kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari pasir. Sehingga dicegah dengan membuat sebuah konsep penetasan dengan realisasi intan box tersebut.
“Jadi konsep tanpa menggunakan media pasir yang jadi kunci utamanya. Karena parameter suhu dan kelembaban bisa kita kendalikan secara stabil, sehingga kita tidak membutuhkan lagi media yang rawan akan cemaran maupun kontaminasi dari mikroorganisme tersebut,” kata dia.
Aditya berharap teknologi itu bisa diaplikasikan secara meluas. Karena kebutuhan dan pelaksanaan program konservasi penyu tidak hanya dilaksanakan di pesisir Banyuwangi saja, namun di seluruh Indonesia bahkan skala global.