Oleh : Muhammad Salisul Khakim*
REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia sebagai negara berdiri berdasarkan konstruksi keberagamaan dan keberagaman. Keberagamaan menjadi hal yang mengikat warga negara agar memiliki keadaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sementara itu, keberagaman menjadi hal yang melepas warga negara agar lebih memiliki kebebasan dalam kehidupan yang lebih dari sekedar bernegara, melainkan kehidupan yang mengacu pada globalisasi. Isu-isu yang berkaitan dengan kedua hal di atas selalu menjadi menjadi polemik yang sukar untuk diuraikan hingga kemudian menimbulkan tindakan-tindakan anarkistis.
Aksi pengeroyokan terhadap terduga penista agama beberapa waktu lalu menjadi polemik antara kebebasan dan keadaban yang tidak terselesaikan, karena massa telah menjadi hakim mendahului negara yang seharusnya berdiri di depan. Tindakan-tindakan yang tidak beradab dimunculkan sebagai akibat penyalahartian kebebasan berpendapat.
Keberagamaan tidak lagi menjadi acuan bagi seseorang untuk memiliki adab yang baik, dan keberagaman juga tidak lagi menjadi contoh kebebasan yang menarik. Negara harus dapat menengahi persoalan yang tak pernah selesai dan selalu berulang ini.
Bahkan tindakan perusakan-perusakan tempat ibadah seperti masjid ataupun gereja yang pernah terjadi sebelumnya menjadi kewajiban negara untuk selalu hadir mengawal proses sebagaimana mestinya yang tertuang dalam dasar negara. Konstitusi negara berdasarkan UUD 1945 pasal 29 tegas mengatasnamakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara.
Hal ini menunjukkan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Sementara itu, dalam Pasal 28E menjelaskan bahwa negara juga menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Negara harus berdiri bukan hanya sekedar konstitusi yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, melainkan penegak negara juga harus hadir berhadap-hadapan dengan publik yang bertanya-tanya.
Pemerintahan yang berdaulat sebagai unsur utama penegak negara memiliki tanggung jawab besar terhadap berlangsungnya proses kehidupan masyarakat dalam berwarganegara. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana undang-undang harus tegas dalam mewujudkan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam penghujung dasar negara.
Yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan malah mementingkan elite koalisi pemerintah untuk berbagi jatah kursi-kursi menteri dan wakilnya. Jatah kursi pun tidak dapat dimaksimalkan perannya oleh elit, sehingga yang terjadi justru kegaduhan demi kegaduhan di kalangan sektoral tanpa sama sekali ada hal yang esensial di dalamnya.
Sementara itu, legislatif sebagai lembaga yang diamanahi membuat undang-undang harusnya dapat menjadi representasi dalam mengusung aspirasi rakyat, bukan justru mementingkan kepentingan partai politiknya, apalagi berkoalisi dengan pemerintah dalam artian tidak terjadi check and balance dalam proses bernegara.
Di sisi lain, yudikatif sebagai lembaga peradilan yang dipercaya rakyat harusnya berdiri secara netral dan menegakkan keadilan di tengah polemik keberagamaan dalam keberagaman.
Isu-isu pernikahan beda agama, dispensasi pernikahan dini, diskriminasi penghayat kepercayaan, ketidakjelasan kasus perusakan tempat-tempat ibadah, hingga penistaan agama menjadi menjadi permasalahan yang terus berulang terjadi dengan berujung pada eksekusi represif, yang sebenarnya dapat dilakukan penindakan secara preventif.
*Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta