Oleh : Taufiqur Rahman*
REPUBLIKA.CO.ID, Bulan Ramadhan seringkali diibaratkan dengan bulan pelatihan, tempat bagi umat Islam untuk menempa diri menjadi sosok pribadi yang lebih baik. Salah satu ujian bagi orang yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan ini adalah ujian toleransi, yaitu ujian apakah kita mau secara terbuka menerima pendapat dan keyakinan yang berbeda.
Toleransi yang harus dibangun di bulan Ramadhan ini mencakup toleransi antarumat beragama dan toleransi antar sesama umat Islam sendiri. Toleransi merupakan elemen penting dari ajaran Islam dan menjadi salah satu indikator dari karakter ummatan wasathan atau umat tengahan yang sejatinya diharapkan menjadi karakter umat Islam sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 143.
Alquran mengajarkan kepada umat manusia, bahwa manusia itu diciptakan dari laki-laki dan perempuan yang hidup di berbagai suku bangsa untuk saling kenal mengenal satu sama lain (Alquran surat Al-Hujurat ayat 13). Saling mengenal disini bukan hanya berarti mengenal nama dan asal usul, tetapi lebih dari itu harus ditunjukkan dengan kesediaan untuk mengapresiasi perbedaan yang ada.
Jika Allah berkehendak, bisa saja manusia itu diciptakan menjadi satu umat. Tetapi Allah menciptakan perbedaan untuk menguji umatnya dan mendorong agar mereka saling berlomba untuk menghasilkan karya dan amal yang terbaik (Alquran surat Al-Maidah ayat 48).
Problem toleransi antarumat beragama seperti imbauan untuk menghormati orang yang sedang berpuasa dengan menutup warung makan di siang hari selama bulan Ramadhan. Orang yang menjalankan ibadah puasa secara sungguh-sungguh mestinya tidak akan tergoda hanya karena ada warung makan yang buka di siang hari.
Kondisi seperti ini sangat biasa ditemui oleh umat Islam yang tinggal di daerah minoritas Muslim. Sehingga seharusnya hal yang sama juga tidak menjadi masalah ketika itu terjadi di tempat yang kebetulan penduduknya mayoritas Muslim.
Contoh yang lain adalah penggunaan pengeras suara masjid yang terlalu berlebihan. Semangat syiar Ramadhan seringkali juga diekspresikan terlalu berlebihan dengan penggunaan pengeras suara yang nyaris tidak berhenti sejak waktu sahur sampai menjelang tengah malam seusai shalat Tarawih dan suaranya diarahkan keluar masjid.
Hal seperti ini mungkin dianggap biasa saja. Tetapi kalau kita coba renungkan lebih mendalam, ada hak masyarakat yang tinggal di lingkungan masjid untuk merasakan ketenangan. Surat edaran yang diterbitkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala, semestinya disikapi dengan bijak sebagai ikhtiar untuk menampakkan syiar Islam yang elegan dan ramah bukan dilihat sebagai pembatasan atau pelarangan.
Di sisi lain toleransi antar sesama umat Islam misalnya, perbedaan dalam jumlah rakaat shalat Tarawih, serta perbedaan metode penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal 1443 Hijriyah yang menimbulkan perbedaan antara beberapa ormas Islam besar di Indonesia. Perbedaan ini sempat menimbulkan perdebatan yang hangat di dalam berbagai forum termasuk di media sosial.
Perbedaan pandangan ini kalau tidak dapat dikelola dengan baik akan menjadi potensi konflik dan perpecahan antara sesama umat Islam. Hal itu tentu tidak boleh terjadi, apalagi di bulan suci Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan terbaik untuk berlomba-lomba menebar kebajikan bukan sebaliknya justru digunakan untuk menebar kebencian dan permusuhan.
*Wakil Rektor Bidang Akademik Unisa Yogyakarta