REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Harga minyak goreng (migor) di DIY belum menunjukkan penurunan. Terutama untuk migor kemasan yang harganya belum turun meskipun sudah dikeluarkannya keputusan pelarangan ekspor migor oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan pantauan Republika di salah satu toko ritel di kawasan Demangan, Kota Yogyakarta, harga migor kemasan masih cukup tinggi. Untuk migor kemasan dengan isian satu liter di toko ritel, harganya masih di kisaran Rp 25 ribu.
Sedangkan, untuk migor kemasan dua liter, harganya juga masih tinggi yakni mulai dari Rp 49.500 sampai Rp 51 ribu. Perbedaan harga dari migor kemasan ini berdasarkan merek-merek tertentu, seperti merek Tropica yang harganya mencapai Rp 51 ribu per dua liter.
Tidak hanya itu, harga migor kemasan yang dijual di pasar tradisional juga masih berada di kisaran harga yang tidak berbeda jauh dengan harga di toko ritel.
Salah satu warga Kota Yogyakarta, Irma Avianti (44) mengatakan, untuk harga migor kemasan isian satu liter di pasar tradisional masih sekitar Rp 20 ribu sampai Rp 21 ribu.
Meskipun begitu, ketersediaan migor khusus untuk yang kemasan masih tersedia cukup banyak. Baik itu di toko ritel atau toko modern, maupun di pasar tradisional.
Sementara itu, untuk ketersediaan migor curah dinilainya masih ada di pasar tradisional. Meskipun begitu, jumlahnya tidak sebanyak migor kemasan.
Irma menyebut, saat ini pedagang lebih banyak menjual migor kemasan dibanding dengan migor curah. "Karena sempat dulu harga migor curah Rp 18 ribu per liter, mending beli kemasan yang tidak berbeda jauh (dengan harga migor curah) dan kandungan nutrisinya lebih jelas," kata Irma kepada Republika, Ahad (1/5/2022).
Sebelumnya, ketersediaan migor khusus untuk curah dinilai cukup berdasarkan pantauan yang dilakukan oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) DIY. Meskipun begitu, Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY, Tri Saktiyana mengatakan, migor curah ini masih sulit ditemui di pasaran.
"Untuk (migor) curah stoknya cukup, namun di pasar tradisional agak sulit ditemui," kata Tri belum lama ini.
Masih sulitnya migor curah ditemukan dikarenakan pedagang yang enggan memasarkan migor curah. Sebab, kata Tri, keuntungan penjualannya lebih sedikit dibandingkan dengan risiko menjual migor curah.
"Ketika kami wawancara dengan pedagang pasar di Gunungkidul, mereka agak enggan memasarkan migor curah karena limit profitnya relatif tipis sekali, tapi resikonya besar," ujar Tri.
Ia mencontohkan, migor curah dikemas hanya dengan plastik yang diikat dengan karet. Hal ini juga mengakibatkan migor curah sangat mudah tumpah ketika jatuh, sedangkan keuntungannya yang tidak besar juga tidak dapat menutupi kerugian yang terjadi.
"Di pasar tradisional juga ada tikus, ketika digigit satu (kantong) bocor hilang (keuntungan) Rp 15 ribu (per liter) dan keuntungannya tidak bisa menutupi (kerugian)," jelas Tri.
Dikarenakan risiko menjual migor curah yang lebih besar, maka banyak pedagang yang lebih memilih untuk menjual migor kemasan. Pasalnya, migor kemasan lebih relatif aman dan tidak mudah pecah jika terjatuh, serta keuntungan penjualannya juga lebih besar.
"Migor kemasan relatif aman, karena saat jatuh tidak pecah, kemudian margin profitnya tidak dikendalikan harganya oleh pemerintah lebih longgar lagi," katanya.