Selasa 03 May 2022 11:19 WIB

Asal Usul Tradisi Halal bi Halal yang Dirintis Mangkunegara I

Tradisi Lebaran termasuk terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) berhalal bihalal usai apel pagi (ilustrasi)
Foto: Antara/Lucky R
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) berhalal bihalal usai apel pagi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG – Setiap merayakan Idul Fitri, maka akan selalu ada tradisi halal bi halal di Indonesia. Tradisi ini biasanya bertujuan untuk saling maaf-memaafkan di antara sesama Muslim maupun agama lainnya.

Namun teman-teman Republika.co.id apakah tahu sejak kapan halal bi halal hadir di Indonesia? Maisarotil Husna memiliki jawaban tersebut dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Halal bi Halal dalam Perspektif Adat dan Syariat. Artikel ini terbit di Perada: Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu pada Januari – Juni 2019.

Menurut Maisarotil, tradisi halal bi halal pertama kali dirintis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I. Sosok ini merupakan pendiri dari Kadipaten Mangkunegaran yang berada di Surakarta, Jawa Tengah (Jateng). Mangkunegara sendiri lahir pada 7 April 1725 lalu meninggal pada 23 Desember 1795.

Mangkunegara I yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa merupakan orang yang pertama kali mengenalkan tradisi halal bi halal. Setelah Idul Fitri, dia mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Hal ini bertujuan untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. “Saat itu, semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri,” kata Maisarotil.

Menurut dia, tradisi ini ternyata ditiru dan diadaptasi oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Selanjutnya, instansi pemerintahan dan swasta mulai mengadakan tradisi tersebut yang pesertanya meliputi masyarakat dari berbagai pemeluk agama.

Tradisi ini pun terus berkembang dan dilakukan di Indonesia hingga sekarang. Budayawan Umar Khayam pernah mengungkapkan, tradisi Lebaran termasuk terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam.

Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, tradisi itu pun menyebar ke seluruh daerah di Indonesia dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama.

Pada artikel ilmiahnya, Maisarotil juga menyinggung mengenai akulturasi budaya Islam dan Jawa. Untuk mengetahui fenomena tersebut, maka perlu dicermati juga pengetahuan budaya Islam secara global.

Menurut Maisarotil, negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia) tidak ada tradisi berjabat tangan secara massal untuk saling memaafkan setelah shalat Idul Fitri. Hanya sejumlah orang secara sporadik berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.

Berdasarkan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya secara khusus. Dengan kata lain, tidak ada prosesi saling memaafkan semacam halal bi halal setelah Muslim menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan. Saat seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera meminta maaf kepada yang bersangkutan.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti pun tidak menemukan istilah halal bi halal dalam Alquran dan hadis. Sebab itu, peneliti berkeyakinan istilah dan tradisi ini murni dari Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement