Rabu 11 May 2022 14:58 WIB
Suara Mahasiswa

Metaverse, Ruang Kehampaan Postmodernis

Ide mengenai metaverse tidak lain adalah untuk pengembangan komoditas bisnis digital.

Metaverse (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com.
Metaverse (ilustrasi)

Oleh : Wildan Wahid Hasim*

REPUBLIKA.CO.ID, Dunia internet digemparkan dengan pernyataan Mark Zuckerberg. Ia mengatakan bahwa di masa depan manusia tidak lagi berkomunikasi secara tradisional. Disebut tradisional karena mengacu kepada pertemuan yang terjadi antarsesama manusia tersebut. 

Pernyataan ini sontak mengejutkan dunia karena banyak masyarakat bingung dengan konsep atau ide yang digagas oleh pemilik Facebook tersebut. Pada dasarnya konsep yang ingin dikembangkan oleh Mark yakni pembuatan ruang virtual. 

Ruang ini terdapat sebuah avatar yang berasal dari pengguna media sosial. Ruang tersebut diberi nama metaverse. Meskipun sebenarnya metaverse bukanlah ide baru. Sudah banyak para sejarawan memprediksi akan lahirnya tatanan dunia baru tentunya yang berkaitan dengan kemajuan teknologi. Jika kita kritis dalam melihat masa depan banyak kemungkinan yang akan terjadi ketika metaverse berhasil diciptakan dan mempunyai pengguna di seantero dunia. 

Sebenarnya orang pertama yang memiliki gagasan atau mencetuskan nama metaverse adalah Neal Stephenson. Ia menyebutkan istilah metaverse di dalam novel karangannya pada tahun 1992 yang berjudul Snow Crash. Istilah ini tidak memiliki definisi yang bisa diterima secara universal. Anggap saja metaverse adalah internet yang diberikan dalam bentuk 3D. 

Zuckerberg menggambarkan metaverse sebagai lingkungan virtual yang bisa kita masuki, alih-alih hanya melihat layar. Jika dipersingkat, ini adalah dunia komunitas virtual tanpa akhir yang saling terhubung. Di mana, orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain dengan menggunakan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, aplikasi smartphone, dan atau perangkat lainnya. 

Di sini dapat diketahui bahwa sebenarnya ide mengenai metaverse tidak lain adalah untuk pengembangan komoditas bisnis digital. Perusahaan seperti Facebook tidak ingin kehilangan penggunanya sehingga mereka berusaha untuk menghadirkan ruang komunikasi baru yang lebih efektif dan efisien. 

Kajian mengenai metaverse ini merupakan kajian yang baru terutama dalam dunia sosial. Keilmuan sosiologis yang bersifat reflektif dan adaptif mencoba untuk membuka ruang argumentasi analisanya melalui berbagai pendekatan teori yang relevan. Misalnya saja penggunaan teori modern dan postmodern yang mampu menjelaskan fenomena metaverse dalam lanskap sosiologis. 

Teori modern mengungkapkan bahwa adanya kemajuan teknologi sebagai langkah awal mahzab positivis dalam memproduksi pengetahuan yang pada kenyataannya akan dapat bermanfaat untuk umat manusia. Tidak terkecuali dengan hadirnya metaverse ini.

Ruang virtual yang tampak menyimpan dilema

Metaverse yang digadang-gadang sebagai pengganti media sosial konvensional akan menjadi ruang baru komunikasi masyarakat. Tentunya masyarakat akan sangat tertolong dengan hadirnya metaverse ini. 

Berikut merupakan keuntungan yang dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna metaverse: (1) Komunikasi yang terjalin bisa lebih efektif dan efisien. (2) Tidak diperlukannya mobilitas sosial yang tinggi ketika pengguna metaverse berinteraksi, cukup dengan alat digital saja mereka bisa terhubung satu sama lain. (3) Memunculkan ide dan peluang usaha baru yang berkaitan dengan metaverse. (4) Peningkatan kapasitas jaringan yang kemudian memicu terjadinya peningkatan kecepatan jaringan di sebuah negara. 

Menilik kembali bagaimana kedigdayaan perusahaan digital seperti Facebook yang menggunakan teknologi untuk mengajak penggunanya agar tetap setia ini bisa dikatakan sebagai sebuah intimidasi komoditas. Sosiologi membahas komoditas sebagai barang atau jasa yang dapat digunakan manusia untuk pemenuhan kebutuhan. 

Komoditas ini lahir dari produsen yang memiliki kekuatan modal besar baik berupa tenaga kerja maupun sumber daya. Dunia digital terutama platform yang sering digunakan oleh masyarakat tidak ingin kalah dengan berbagai jenis komoditas lain. Tentunya perusahaan yang berkecimpung didunia teknologi mau tidak mau harus memiliki ide yang futuristis untuk menjaga konsumen mereka agar tetap setia menggunakan layanan dari perusahaan ini. 

Metaverse bisa dimasukkan ke dalam sebuah fetisme karena perusahaan ingin menjadi terdepan dalam penggunaan teknologi komunikasi. Ini berdampak kepada terbentuknya kelompok-kelompok komoditas yang memiliki turunan kapasitas tertentu, misalnya saja komoditas dengan rating yang tinggi dan komoditas dengan rating yang rendah. Fetisme ini tidak hanya terjadi sekali saja, akan tetapi terus tercipta seiring dengan kemajuan teknologi yang hadir di masa depan. 

Jika tadi sudah menyindir dimensi teori modern dalam mengungkapkan pemikiran kemajuan metaverse, kini teori postmodern hadir dalam narasi berpikir sosiologis. 

Postmodern merupakan teori yang berkembang di era 60-an. Penggunaan teori ini lahir dari keresahan masyarakat Eropa terkait dengan kemajuan teknologi yang tidak sesuai dengan tujuan utama, yakni sebagai pemusnah mitos dalam kehidupan masyarakat. 

Sejatinya teknologi yang digunakan untuk kepentingan masyarakat adalah teknologi yang memiliki daya guna. Namun, lambat laun penggunaan teknologi tidak mencerminkan asas kegunaan lalu kemudian bergeser menuju narasi destruktif. Kajian postmodernis mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi tidak terkecuali dengan teknologi komunikasi mampu mendorong perubahan sosial ke arah negatif. Bagaimana tidak jikalau teknologi komunikasi yang digunakan masyarakat mampu memberikan akses lebar bagi siapa pun dan di mana pun mereka maka nantinya sabotase bernuansa teknologi akan muncul. 

Banyak kasus yang terjadi hingga saat ini tidak ada solusi konkret yang di keluarkan pihak berwenang. Kasus mulai dari adanya ancaman dari seseorang yang tidak kenal hingga terjadinya kejahatan seksual di dunia siber. Kekerasan atau pelecehan seksual di ruang metaverse seperti dialami oleh Nina Jane Patel yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual di ruang digital metaverse. 

Kejadian ini terjadi pada bulan Desember lalu, saat pengujia beta tester platform Horizon World yang dibuat oleh meta. Patel menyebutkan kejadian ini terjadi sangat cepat, sehingga ia tidak sempat untuk mengaktifkan fitur keamanan yang tersedia. Ia juga mengingatkan kepada publik bahwa isu pelecehan seksual dapat terjadi di ruang virtual seperti dunia baru metaverse. Isu ini seharusnya mendapatkan perhatian dari para pemegang industri agar bisa menerapkan keamanan bagi pengguna ruang virtual tersebut. 

Perdebatan terkait modernitas dan postmodernitas sudah dimulai dengan keterlibatan beberapa kritikus seperti Martin Heidegger, Jean-Francois Lyotard, Michel Foucault, Richard Rorty, dan Jacques Derrida yang mendukung postmodernitas. 

Michel Foucault, seperti kita tahu adalah salah seorang ahli analisis wacana yang mempengaruhi beberapa ahli analisis wacana kritis seperti Teun A van Dijk, Norman Fairclough, dan Ruth Wodak. Para postmodernis tersebut berpendapat bahwa tradisi modernitas era Pencerahan sedang berada dalam krisis karena munculnya masalah seperti keterasingan dan eksploitasi dalam tradisi modernitas. 

Ketika Habermas mencoba untuk membela modernitas sebagai proyek yang belum selesai, seharusnya kita tidak meninggalkannya melainkan mendorong orang-orang yang mendukung postmodernitas untuk bereaksi. Sejak saat itu, titik berat postmodernitas sebagai aspek postmoderenisme yang lebih penting terus mengalami pembahasan di berbagai literatur.

Seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog asal Inggris. Ia menyatakan bahwa modernisasi menumbuhkan risiko besar atau high risk. Risiko ini seperti munculnya hacker dalam dunia komunikasi digital. 

Metaverse sebagai manifestasi komunikasi digital jika tidak dibarengi dengan kekuatan keamanan yang mumpuni maka akan muncul celah peretasan dan kebocoran data pengguna. Dampaknya akan terjadi degradasi kepercayaan sosial dalam masyarakat. 

Hal senada juga dinarasikan oleh Ulrich Beck mengenai masyarakat berisiko. Penggunaan teknologi yang masif terutama dalam keseharian manusia memunculkan disintegrasi dalam masyarakat. Ini disebabkan oleh nihilnya norma sosial yang diterapkan dalam penggunaan komunikasi dalam ruang digital.

Sebenarnya jika menilik kembali tujuan utama dari ruang digital ini adalah memudahkan pola komunikasi yang terjadi antar manusia. Tetapi pada kenyataannya pola komunikasi melahirkan kehampaan. Bisa saja kehampaan ini berkembang menjadi narasi-narasi konflik yang muncul akibat ketidakhadiran norma sosial. 

Katup pengaman bersifat kolektif

Kehampaan yang akan timbul ketika metaverse menjadi sebuah komoditas unggul di dalam proses interaksi masyarakat yakni tidak adanya kaidah sosial yang mengikat mereka. Teori postmodernis menjelaskan bahwa masa pascamodern selalu diidentikkan dengan hilangnya narasi besar dalam kehidupan manusia. Misalnya saja dengan terjadinya degradasi norma dan nilai agama. 

Inilah kehampaan yang sesungguhnya ketika modernisasi berkembang semakin pesat kemudian tidak dibarengi dengan masifnya pedagogi yang bersifat normatif dalam masyarakat. Di sinilah perlunya kekuasaan yang besar dan dapat mengatur fenomena ini, dan kekuasaan tersebut adalah negara. 

Kehadiran negara dalam menata kehidupan sosial melalui berbagai kebijakan yang diproduksi diharapkan mampu menjadi kontrol sosial. Katup pengaman yang dimiliki negara dinilai lebih efektif karena kekuasaan negara yang menyeluruh. Kebijakan yang dibuat oleh negara bisa meliputi kebijakan keamanan, kebijakan literasi digital, dan kebijakan penekanan norma dalam masyarakat. 

Selain itu, bentuk kerja sama antarinstansi juga harus diperhatikan, misalnya saja bentuk kerja sama pemerintah dengan lembaga perguruan tinggi yang mencetak insan intelektual. Insan intelektual tersebut diharapkan mampu memberikan gerakan perubahan menuju arah yang lebih baik di tengah-tengah disrupsi norma sosial dalam bungkus modernitas. 

Metaverse merupakan simbol modernitas yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dengan catatan bahwa masyarakat mampu memanfaatkan teknologi tersebut dengan baik. Lembaga keluarga sebagai unsur terkecil dalam struktur sosial masyarakat mempunyai tugas berat dalam mengedukasi pengguna teknologi. 

Keluarga menjadi garis terdepan dalam mengambil sikap dan mengarahkan anggota keluarga mereka agar tidak terjebak dalam dogmatisme teknologi yang akhirnya menjadikan teknologi sebagai komoditas dan imbasnya ialah keterasingan dan pendangkalan akal budi. Pola komunikasi yang aktif dan partisipatif sesama anggota keluarga bisa menjadi jalan utama untuk membentuk solidaritas dan menciptakan katup pengaman dalam mengarungi revolusi teknologi. 

 

*Mahasiswa Sosiologi Universitas Jember, dapat dihubungi melalui email [email protected]

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement