REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pengamat dan ekonom menilai tren booming teknologi digital yang ditandai menjamurnya aplikasi daring perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sebab, kualitas layanan dan keamanan data siber harus diprioritaskan, bukan semata mementingkan harga yang murah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai perusahaan penyedia layanan teknologi seperti internet provider dan layanan aplikasi sebaiknya terus melakukan perbaikan dalam keamanan siber.
"Berdasarkan ranking National Cyber Security Index (NCSI), posisi Indonesia ada diperingkat 83 dari 160 negara. Artinya kualitas keamanan siber masih perlu perbaikan signifikan," ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/5/2022).
Menurut dia, konsumen memang pada awalnya sensitif terhadap harga ketika pertama kali mengenal koneksi internet. Konsumen cenderung mudah gonta-ganti provider karena perbedaan harga.
"Tapi makin tinggi pemahaman konsumen khususnya soal privasi data pribadi dan risiko hacking atau kebocoran data, maka preferensi akan berubah mencari kualitas layanan," paparnya.
Karena itu, lanjut dia, di sini peran penting pemerintah juga selain dari tekanan konsumen untuk memastikan layanan berkualitas. "Contohnya jika ada kebocoran data pribadi atau pembajakan aplikasi, maka yang diminta pertanggung jawaban adalah pihak penyelenggara layanan. Bukankah ada kasus jutaan data bocor kemudian menguap begitu saja. Ini harus menjadi pelajaran penting," tuturnya.
Selain keamanan data siber, kualitas kecepatan internet di Indonesia juga masih rendah. Laporan Speedtest Global Index, layanan uji koneksi internet di seluruh dunia, pada September 2021 memperlihatkan posisi Indonesia yang berada di urutan ke-108 dari 138 negara.
Kecepatan internet mobile Indonesia ini belum lebih baik dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura 105,01 Mbps (peringkat 17), Brunei Darussalam 67,32 Mbps (peringkat 36), Thailand 56,90 Mbps (peringkat 49), Vietnam 43,32 Mbps (peringkat 59), Filipina 35,03 Mbps (peringkat 72), Malaysia 31,34 Mbps (peringkat 82), Laos 30,93 Mbps (peringkat 84), dan Kamboja 23,75 Mbps (peringkat 105). Bahkan dengan Laos dan Kamboja pun Indonesia masih tertinggal.
Bukan hanya itu saja, kecepatan internet fixed broadband Indonesia di kancah dunia justru lebih buruk lagi ketimbang koneksi internet mobile. Indonesia turun dua peringkat ke posisi 116 dari 181 negara dengan kecepatan internet fixed broadband download rata-rata 27,83 Mbps beda tipis dengan Komboja di atasnya dengan kecepatan internet 28,32 Mbps (115).
Indonesia masih tertinggal dari Singapura 255,83 Mbps (ranking 2), Thailand 225,17 Mbps (peringkat 7), Malaysia 107,55 Mbps (peringkat 46), Vietnam 78,34 Mbps (peringkat 59), Filipina 71,85 Mbps (peringkat 64), Laos 48,16 Mbps (peringkat 88), Brunei Darussalam 34,59 Mbps (peringkat 107), dan Kamboja 28,32 Mbps (peringkat 115).
Senada, Head of Research Praus Capital, Alfred Nainggolan, mengingatkan ancaman keamanan data di era booming teknologi digital saat ini. "Saat ini hampir semua industri menggunakan teknologi digital sebagai backbone inovasi, mulai dari e-commerce, smart factory, smart city, smart farming, smart health, smart banking/digital banking,” ujarnya.
Namun, lanjut dia, booming itu perlu diawasi karena adanya ancaman keamanan data. Menurut dia, makin besar penggunaan teknologi digital oleh masyarakat, maka kerentanan terhadap keamanan data makin tinggi pula. "Dalam kondisi pandemi semacam ini, yang menuntut masyarakat bekerja dari rumah (atau darimana saja), terbukti tidak menganggu pertumbuhan ekonomi. Namun, jangan salah, ada ancaman keamanan data yang perlu diawasi. Ini sangat rentan," tuturnya.
Alfred menilai keamanan data menjadi keniscayaan di era booming teknologi digital. Industri telekomunikasi, kata dia, harus diperkuat dengan realitas bahwa service of quality harus terus dikedepankan. Sudah waktunya negeri ini mentransformasi mindset bahwa kualitas, kecepatan, dan keamanan data di sektor teknologi digital menjadi keniscayaan.
“Jangan selalu ‘membodohi’ masyarakat dengan iklan murah, namun servis kedodoran. Keamanan data menjadi suatu keharusan. Jangan sampai terabaikan hanya gara-gara ingin harga murah,” paparnya.
Menurut dia, kecepatan, kualitas, dan keamanan data sudah tak bisa lagi ditutup-tutupi, bahkan masyarakatlah yang harus memberikan control terbaik tentang itu. "Sehingga tak ada lagi industri telko yang memberikan ‘kucing dalam karung’ kepada pelanggan," jelasnya.
Dengan menyadari anatomi bisnis ini, lanjut dia, maka industri telko akan berjalan realistis. Industri telko juga membutuhkan pemeliharaan yang tidak murah, yang akhirnya tercermin dari layanan terbaik dalam hal kecepatan, kualitas, dan keamanan data. "Industri telko jangan sampai terjebak dengan mengkampanyekan layanan murah saja, tanpa kualitas dan keamanan data yang terjamin," ucapnya.