REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Universitas Islam Indonesia (UII) menegaskan komitmennya melawan dan mencegah kekerasan seksual melalui peraturan-peraturan universitas spesifik. Itu jadi langkah maju karena sampai hari ini tidak semua perguruan tinggi memiliki.
Rektor UII, Prof Fathul Wahid mengatakan, mereka memiliki pula Bidang Etika dan Hukum yang mengawal ketika ada laporan, memproses dan menjatuhkan sanksi. Jadi, tidak cuma secara legal disiapkan, tapi aktor-aktor pelaksana turut disiapkan.
Fathul berharap, semua itu tidak akan pernah terpakai yang mana berarti tidak ada pelanggaran yang terjadi, namun saat ada mereka siap merespon. Ia bersyukur, selama ini respon yang diberikan tegas, selama ada laporan dan bukti yang kuat.
Ia menekankan, bukti pelapor memang harus jelas untuk menghindari terjadinya fitnah. Selain itu, Fathul bersyukur, selama ini ketika ada laporan yang masuk terus diproses dan korban pelapor tidak pernah dibuka identitasnya ke publik.
"Karena itu delik aduan, kalau tidak diadukan kita tidak tahu, kalau hanya menjadi perbincangan warung kopi kita tidak tahu. Makanya, kita ingin laporkan saja dengan portal yang kita siapkan, di beh.uii.ac.id," kata Fathul, Sabtu (11/6/2022).
Fathul turut memberikan masukan terkait Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Ia mengingatkan, setiap perguruan tinggi memiliki kemampuan kelembagaan beragam.
Maka itu, ketika semua harus disamakan, bisa jadi ada perguruan-perguruan tinggi yang secara kelembagaan tidak siap. Sebab, mereka harus memiliki lembaga dan SDM yang baru, sehingga tidak semua perguruan tinggi mampu menerapkan dengan mudah.
Bagi Fathul, komitmen dari perguruan tinggi sebenarnya yang harus mendapatkan penekanan. Jangan sampai karena satu atau dua alasan, apa yang dimandatkan di peraturan tidak bisa dijalankan, dan dianggap tidak peduli kekerasan seksual.
Hal ini yang membuat tidak sedikit perguruan-perguruan tinggi merasa risih. Sebab, ia merasa, seharusnya terdapat ruang kreativitas yang dibuka, sehingga perguruan tinggi mampu merespon dengan cara yang tepat dengan kondisi kampusnya.
"Jangan sampai ada stigma kalau tidak ikut berarti tidak peduli kekerasan, itu tidak enak," ujar Fathul.
Apalagi, kata Fathul, diberikan sanksi-sanksi yang tidak selalu relevan dengan perwujudan komitmen pencegahan atau penanganan kekerasan seksual. Sebab, semua perguruan tinggi saat dimintai pendapat tentu sepakat melawan kekerasan seksual.
Artinya, tidak ada perguruan tinggi yang membuka ruang sedikitpun kepada tindak kekerasan seksual terjadi. Karenanya, jangan sampai peraturan itu membuat mereka yang belum bisa mengikuti seperti tertulis dianggap tidak memiliki komitmen.
"Nanti tidak menggerakkan, memobilisasi komitmen, tapi justru ada yang beberapa merasa kok ikhtiar kita tidak dianggap, kok komitmen kita tidak dihargai," kata Fathul.