Senin 13 Jun 2022 14:12 WIB

Komunitas Aksara Jawa Segajabung, Berjuang di Tengah Gempuran Bahasa Asing

Pengaruh dari realitas zaman berubah lebih cepat dari hari ke hari.

Rep: c02/ Red: Yusuf Assidiq
Komunitas Segajabung bertemu dengan mahasiswa DKV kampus ISI Yogyakarta. Pada  kesempatan itu mereka sharing tentang perkembangan typografi aksara Jawa.
Foto: Muhammad Noor Alfian
Komunitas Segajabung bertemu dengan mahasiswa DKV kampus ISI Yogyakarta. Pada kesempatan itu mereka sharing tentang perkembangan typografi aksara Jawa.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Semua berawal dari rasa penasaran atas rendahnya minat siswa, khususnya pada pelajaran bahasa Jawa. Setya Amrih Prasaja akhirnya tergerak mendirikan Komunitas Aksara Jawa Segajabung yang diluncurkan di Pendhapa Parasamya, Bantul, DIY, pada 31 Agustus 2019 lalu.

Komunitas ini adalah simbol perlawanan, eksistensi, dan identitas diri di tengah gempuran dari hegemoni bahasa asing. Sebagai salah satu dari sekian komunitas aksara yang ada di Yogyakarta, komunitas ini bergerak di bidang pelestarian dan pengembangan aksara Jawa digital dan cetak.

"Dulu saya pernah mengajar bahasa Jawa di SMP 1 Sanden. Namun, minat siswa rendah dan lebih tertarik dengan bahasa asing-kebetulan waktu itu yang lagi ngetrend K-pop. itu membuat saya sangat penasaran," ungkap Setya, saat ditemui Republika.co.id.

Ia mengungkapkan, anak sekarang lebih suka dan tertarik belajar bahasa asing, dari negara Korea hingga Eropa. Menurutnya, ada hal yang salah. Pasalnya mereka lebih memilih belajar bahasa lain yang sejatinya bukan identitas asli dan terkesan menolak aksara Jawa.

"Ini ada apa dengan mereka ya, kenapa dengan bahasa mereka sendiri yang jadi bagian dari mereka dan jati diri mereka malah mereka tolak," katanya, dengan nada prihatin.

Menurut pandangannya, ada yang kurang tepat pada pembelajaran di sekolah terkait sastra dan bahasa, khususnya pelajaran bahasa Jawa yang diampu olehnya waktu itu. Mungkin, pengaruh dari realitas zaman yang berubah lebih cepat dari hari ke hari.

Jadi Setya melihat bahwa kurikulum sekolah belum mampu menjawab tantangan itu. "Saya pikir harus ada suatu gerakan atau metode yang akan memotivasi anak belajar bahasa Jawa supaya mereka kembali ke jati diri tanpa melepas tren mereka sebagai anak milenial," tegas Setya.

Metode yang digunakan oleh Setya adalah tantangan. Menurutnya, anak sekarang sangat suka apabila diberikan tantangan dan memancing mereka dengan itu.

"Selama pelajaran bahasa Jawa, saya tantang murid untuk menulis bahasa Jawa dengan aksara Jawa, bukan latin. Mosok sih kita belajar bahasa Korea mau belajar Hangul dan bahasa jepang mau belajar kanji tapi bahasa Jawa kok pakai latin. Ya biar mereka terpancing" terangnya.

Digitalisasi aksara Jawa

Meski begitu, menurut Setya sempat ada penolakan, tapi lama kelamaan mereka menerima. Namun, setelah ia sudah tidak lagi mengajar di Sanden dan sudah jadi guru di SMA 2 Bantul. Isu terkait digitalisasi aksara Jawa sedang santer diberitakan.

"Waktu itu ada isu besar tentang digitalisasi aksara Jawa oleh teman-teman komunitas. Isunya adalah kenapa aksara Jawa tidak bisa masif digunakan di media sosial," ungkapnya.

Sejak itu, Setya berpikir bahwa itu adalah peluang untuk pembaharuan dalam pembelajaran bahasa Jawa. Ia pun mencoba memanfaatkan itu untuk merintis digitalisasi aksara jawa bersama para muridnya.

"Saya coba berkomunikasi dan melempar ide soal itu kepada para murid. Alhamdulillah tanggapan mereka positif dan rame yang ikut diskusi," kata Setya.

Ia berpandanganmereka hidup di DIY dan zaman juga telah berubah jadi modern. Merespons itu, ia melempar pendapat bahwa hidup di daerah Istimewa harus ada keistimewaannya juga.

"Kalau kita mau Jogja terlihat istimewa selain sejarah dan sebagainya. Alangkah bagus jika anak mudanya bisa berbahasa Jawa dengan baik, perilaku baik dan bisa baca tulis aksara Jawa. Apalagi kalau kalau anak mudanya bisa masif bercakap di media sosial seperti wa dan ig dengan aksara jawa, wah itu istimewa sekali" katanya.

Para murid mulai terpancing, dari itu mereka jadi semakin sering berdiskusi. Akhirnya, pada 19 Agustus 2019 mereka memutuskan menggelar soft opening di jalan Srandakan, Bantul.

"Setelah itu, ada angin segar dari Dinas Sosial DIY terkait restorasi sosial Gerbangpraja (Gerakan Bangga Penggunaan Aksara Jawa). Lantas kami diberikan kesempatan pada 31 Agustus untuk meresmikan dan jadi tonggak kelahiran komunitas kami," ungkap Setya.

Seiring berjalannya waktu, ia mengatakan bahwa semakin banyak relasi yang terhubung. Kemudian, Setya mengatakan komunitas semakin berkembang setelah berpartner dengan PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia) terkait program Merajut Indonesia Digitalisasi Aksara Nusantara.

"Dari situ kita mulai diajak kerja sama dengan, Dinas Kebudayaan DIY,  kementerian, hingga UNESCO, dan banyak pihak lainnya," jelasnya.

Kemudian,  semakin banyak lagi orang tergerak hingga banyak komunitas aksara Jawa lahir sejak itu. Mulai dari Kampung Aksara di Srimulyo, Lonceng Aksara di Sleman, Lagam Aksara di Kulonprogo, hingga Geber Jawa di Kota Yogyakarta.

Lebih lanjut Setya berharap, jika penggunaan aksara dalam bentuk digital Jawa dapat menjadi semakin masif, khususnya di DIY. Ia beralasan, agar aksara Jawa tetap eksis, tidak hanya jadi koleksi seperti fosil dan punah.

"Harapannya ya semakin banyak orang Yogyakarta menggunakan aksara Jawa khususnya di media sosial. Tidak menutup kemungkinan untuk aksara lain di Indonesia juga ya. Alasannya itu ya apabila pengguna tidak bisa menggunakan aksara Jawa di media sosial, bisa jadi 20-30 tahun kemudian akan punah. Eksistensinya hanya akan jadi peninggalan sejarah di perpustakaan," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement