REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nomaden, satu kata yang menggambarkan tonggak Klub Buku Yogyakarta (KBY). Memang sejak 2012, kegiatan KBY sering berpindah dari satu kedai kopi ke kedai lainnya hingga akhirnya menetap di Kebun Buku Yogyakarta pada akhir 2021. Sudah sepuluh tahun berlalu namun KBY tetap eksis.
Salah satu penggerak KBY, Andreas Nova, sudah tergabung sejak 2017 an. Ia mengatakan, mulanya KBY aktif di Twitter sebagai wadah untuk mengumpulkan para pembaca buku, terutama mereka yang berdomisili di Yogyakarta.
Namun, salah satu inisator yaitu Maulina Muzirwan berinisiatif mengajak kopi darat. Sehingga terbentuklah embrio KBY pada 2 April 2012.
“Dulu kita pindah-pindah, dari satu kedai kopi ke kedai kopi lainnya. Ya sesuai dengan keinginan pemantik diskusi atau juga cari tempat yang nyaman untuk berdialog soal buku,” kata Nova pada Senin (20/6/2022).
KBY memiliki satu visi yaitu untuk menjadi klub nomor satu di indonesia. Sedangkan misinya adalah menciptakan pembaca yang kritis, menjadi wadah berkumpul dan bertukar tentang informasi tentang dunia buku dan literasi serta penyebaran virus membaca.
“Nah, jadi nomor satu itu maksudnya perihal eksistensinya. KBY itu termasuk salah satu yang awet, sudah 10 tahun dan masih aktif walaupun ya begitu deh. Tidak seperti kebanyakan komunitas literasi lain yang cenderung ada tokoh sentralnya, begitu tokoh sentralnya habis, ya kelar,” ungkapnya.
Selain itu, KBY sendiri memiliki sifat yang lebih kolektif dan fleksibel sehingga bisa eksis lebih lama, walaupun 'kurang terdengar' kalau dibandingkan komunitas lain yang 'nebeng' sama ketokohan foundernya. Seperti sekarang, KBY memiliki sekitar 200 anggota, walaupun tidak semua anggota proaktif.
“Kami memang tidak membership, lebih fleksibel. Seperti kalau ada acara bedah buku kami tidak mewajibkan peserta untuk baca buku terlebih dulu. Ya kami lebih seperti wadah bagi orang yang sama-sama suka buku,” terangnya.
Namun, menurut Nova, karena KBY tidak ada struktur yang baku dalam komunitas, jadi persoalan tersendiri. Pasalnya sifatnya yang tidak mengikat ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
“Kurangnya semisal ada diskusi, yang datang dan mengelola cuma itu-itu saja, tapi positifnya diskusi jadi lebih terkontrol dan kondusif karena tidak banyak yang ikut,” ungkap dia.
KBY sendiri adalah sebuah komunitas nirlaba. Menurut Nova semua dana untuk kegiatan mulai dari diskusi, buku, dan keperluannya lainnya datang dari kantong para member-nya.
“Biasanya setelah diskusi, kita adakan kotak keliling. Mereka boleh menyumbang seikhlasnya. Tidak ada batasan pokoknya,” ungkapnya.
Tetap berdiskusi
Namun, sejak akhir 2014, seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, Nova bercerita bahwa KBY mulai memutuskan untuk membuat Whatsapp Grup (WAG) untuk merespons zaman. Tujuannya adalah memudahkan sarana komunikasi dan diskusi bagi para pembaca buku di Yogyakarta.
“Kami sering melempar isu di WAG mulai dari yang ringan sampai berat. Dari novel, komik, film, dan sebagainya. Nah di situlah terjadi diskusi dan obrolan antar anggota, kalau ada yang malu biasanya mereka langsung japri jadi teknologi memang memudahkan sekali,” katanya.
Selain itu, selama covid kami tetap berdiskusi walaupun tidak bisa berkumpul, kami biasanya berdiskusi lewat Google Meet atau siaran langsung di Instagram. Oleh karena itu, landainya angka covid jadi kesempatan untuk bertemu kembali dengan para anggota lainnya.
Raiza Hanum salah satu anggota KBY berharap dapat menghidupkan kembali kegiatan yang terpaksa berhenti sebelumnya. “Harapannya sih karena sudah tidak pandemi kita pengen menggalakkan lagi program yang sempat vakum seperti Senin Movie, RaBuku, JumatBarokah,” kata Hanum.
KBY sendiri memiliki beberapa program offline. Di antaranya adalah Bengong Bersama KBY (BBK), Perpustakaan Jalanan KBY, KBY Berbagi, KBY Goes To Publisher. Sedangkan, untuk KBY Program Online, Senin Movie, SelaSastra, RaBuku, KamisLebihDekat, JumatBarokah, SabtuKenangan, hingga MingguSeru.