Senin 18 Jul 2022 08:37 WIB

Pasal RKUHP Dinilai Bermasalah, Aliansi BEM UNS Tuntut Kaji Ulang

Keterlibatan publik menjadi perlu dalam pembahasan RKUHP.

Rep: c02/ Red: Yusuf Assidiq
  Suasana puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Universitas Sebelas Maret (UNS) dalam aksi di Boulevard depan gerbang kampus.
Foto: Muhammad Noor Alfian
Suasana puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Universitas Sebelas Maret (UNS) dalam aksi di Boulevard depan gerbang kampus.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, menggelar aksi di Boulevard depan gerbang kampus. Aksi kali ini bertujuan menuntut pengkajian ulang pasal-pasal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai bermasalah.

Perwakilan BEM Sekolah Vokasi UNS, Ahmad mengatakan, pihaknya telah berdiskusi dan mendapati ada beberapa pasal yang dinilai bermasalah, salah satunya pasal 218 ayat 1 RKUHP. "Setiap orang di muka umum yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden akan dipidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan, atau pidana denda paling banyak kategori IV," ungkapnya ketika ditemui di sela-sela aksi, belum lama ini.

Menurutnya pasal itu akan mengarah ke pasal karet. Oleh karena itu, ia menuntut pengkajian ulang.  "Dari sisi penghinaan tersebut akan mengarah ke hal-hal yang bersifat subjektif, kemudian istilah-istilah yang digunakan itu dikhawatirkan akan menjerumuskan, dari hal tersebut perlunya dikaji ulang juga dan bahkan titik kulminasinya pada pembatalan," ujarnya.

Selain itu, keterlibatan publik menjadi perlu, khususnya dalam pembahasan RKUHP. "Kami meminta kepada pemerintah untuk melibatkan partisipasi publik terhadap pembahasan RKUHP," tambah dia.

Selain itu, pasal lain di 273 RKUHP juga dinilai ganjil. Sebab memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

"Kami berpandangan hal tersebut mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara," tambahnya. Selanjutnya, Putra sebagai salah satu orator aksi, mengatakan demonstrasi merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi.

Puncaknya akan memberikan solusi bagi kesulitan rakyat. "Karena kami menganggap demonstrasi dan kritik itu juga bagian dari proses mencari solusi, namun memang yang harus mencari solusi itu pemerintah, sehingga kami menolak pasal-pasal bermasalah tersebut," terangnya.

Oleh karena itu, ia menegaskan mahasiswa akan terus mengawal proses pengesahan pasal-pasal di RKUHP. Pengawalan berupa diskusi dan aksi dari gerakan massa di Soloraya.

"Kami berkomitmen untuk gerakan di Solo untuk mengawal hingga memihak kepada rakyat jadi kita tidak membatasi waktunya kapan, tetapi kami dari depan UNS ini percikan api di Soloraya hidup untuk pengawalan yang ingin kami lakukan, dan tentunya juga di daerah lain" tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement