REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Islamophobia tanpa sadar telah hadir di tengah masyarakat dan dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk, narasi-narasi mengarahkan seperti terorisme, ekstrimisme dan radikal yang digaungkan lewat media sosial.
Padahal, baik Islam maupun agama-agama lain telah mengamalkan sesuai dasar-dasar dan konstitusi negara untuk menjaga kesatuan negara. Sehingga, perlu diberikan kesadaran kepada masyarakat agar bersinergi untuk memberantas islamophobia.
Kepala Bidang Ideologi Kesbangpol DIY, Joko Nuryanto mengatakan, pemberantasan Islamophobia mendapat angin segar setelah PBB menetapkan Hari Anti-islamophobia. Hal tersebut telah dilakukan pemerintah melalui pengarusutamaan Islam moderat.
Moderasi beragama penting terus digaungkan hilangkan perilaku keberagamaan yang merugikan umat Islam dan menakutkan orang lain. Tidak boleh ada yang menyakiti dan tersakiti karena bisa memicu ekstrimisme yang mengancam stabilitas nasional.
"Islamophobia merupakan bentuk lain dari ekstrimisme dan kita harus menangkal dan melawan secara bersama dengan cara-cara manusiawi dan beradab," kata Joko dalam Seminar Nasional Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) DIY di Gedung AR Fakhruddin, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Pakar hukum tata negara, Dr Refly Harun menilai, masalah utama masih terkait nasionalisme dan Islam yang kadang pasang surut. Padahal, arus nasionalisme dan arus Islam sudah selesai dengan perumusan Pancasila, khususnya sila pertama.
Ia berpendapat, fenomena yang terjadi saat ini mereka yang memberikan narasi tentang Islam merupakan mereka yang anti pemerintah. Kemudian, ketika kita membicarakan tentang anti-islamophobia itu orang yang di luar pemerintahan.
Pemerintahan dianggap pelaku, penggagas, atau bagian Islamophobia, paling tidak bagian pemerintah seperti buzzer dan lain-lain. Di sisi lain, ketika ada isu Islam diributkan cepat terangkat. Jadi, cara kita bernegara sudah tidak sehat.
Islamophobia bisa jadi motif dari oligarki dan kekuasaan. Karenanya, salah satu bentuk melawan oligarki dan kekuasaan melalui proses pemilihan, untuk memilih pemimpin perlu diubah. Penting memiliki pemerintah yang mau memerangi korupsi.
"Yang harus dilakukan untuk memberantas Islamophobia harus kembali ke asumsi dasar bernegara yaitu Pancasila. Tapi, ketika bicara Pancasila, kadang terkesan klise, padahal nilai-nilai memiliki unsur baik sebagai dasar berbangsa dan bernegara," ujar Refly.
Dengan ini, jika menerapkan Pancasila tidak ada lagi Islamophobia ataupun phobia dengan agama yang lain. Semua agama harus menempatkan tempat yang sama untuk memperjuangkan nilai-nilai agama dalam kerangka Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
Rektor UMY, Prof Gunawan Budiyanto menambahkan, pada era disrupsi ini perlu ada perhatian khusus terkait isu-isu Islamophobia, terlebih di ruang publik. Yang jelas lagi, lanjut Gunawan, dunia media sosial menjadi nafas kehidupan masyarakat.
"Karena itu, dari sisi ideologi jika Islamophobia marak terjadi di medsos ini, secara perlahan Islamophobia akan merusak kesatuan dan kebangsaan," kata Gunawan, menekankan.