REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Refi Nurani Nurohmah dikenal sebagai sosok yang berprestasi di SMKN 1 Wonosari, Gunungkidul, DIY. Emas Olimpiade Nasional 2022 pernah diraih, di samping deretan juara lain yang diperoleh baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Meski memiliki prestasi mentereng, Refi sempat menetapkan hati tidak melanjutkan pendidikan selepas tamat SMK lantaran keterbatasan ekonomi keluarganya. Sampai salah satu guru mendorongnya untuk mendaftarkan kuliah melalui jalur SNMPTN.
Kini, Refi menjadi salah satu mahasiswa Program Studi D4 Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi, Sekolah Vokasi UGM, dan masuk dalam golongan penerima UKT 0. Refi mengaku, memang sebenarnya sejak awal tidak ada rencana untuk berkuliah.
"Lulus SMK langsung cari kerja. Saya tahunya kalau kuliah itu biayanya banyak, terus saya berpikir orang tua saya, mereka sudah tua dan pekerjaan tidak menetap," kata Refi, Kamis (21/7/2022).
Guru sekolahnya mendorong Refi melanjutkan kuliah, setelah memperoleh peringkat satu secara paralel pada penentuan siswa yang eligible untuk mengikuti SNMPTN. Perkataan Sang Guru membekas di pikiran sampai akhirnya mulai mencari informasi.
"Kata guru saya, sayang kalau kesempatan itu tidak diambil, lebih baik coba mendaftar saja daripada besok menyesal," ujar Refi.
Ia memberanikan diri bicara ke orang tuanya terkait rencana kuliah. Ayah Refi, Satiran, sehari-hari bertani di ladang kecil miliknya. Sebagian hasilnya berupa singkong, kacang tanah, beras, dan jagung mereka konsumsi untuk makan sehari-hari.
Selebihnya dijual sebagai pemasukan bagi keluarga. Berbagai pekerjaan serabutan dilakoni bersama sang istri, Surminah, untuk mencari tambahan. Terkadang, mereka kerja di ladang orang lain, mencabuti rumput dan melakukan pekerjaan lainnya.
"Paling banyak dibayar Rp 20 ribu untuk kerja setengah hari. Kadang dari pagi jam 7 sampai jam 11, atau siang jam 1 sampai jam 5 tergantung yang menyuruh," kata Satiran.
Surminah juga sesekali membuat produk anyaman untuk dijual dan menerima pesanan keripik yang dibuat dari hasil panen ladangnya. Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah, Refi membantu menjual keripik tersebut kepada guru-guru di sekolahnya.
Keluarga ini bertahan hidup dengan penghasilan sekitar Rp 200 ribu per bulan, itupun jika mereka mendapat hasil ladang cukup banyak. Beruntung mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang terlalu besar untuk pendidikan anaknya selama ini.
Sebab, Refi bisa bersekolah dengan beasiswa sejak SMP. Meski hidup sederhana, di lubuk hati terdalam kedua orang tua Refi yang hanya lulusan SD memendam harapan agar Refi mengenyam pendidikan terbaik dan mendapatkan penghidupan yang layak.
"Saya sudah bilang, sampai manapun akan saya usahakan untuk sekolah. Saya memang tidak bisa memberi bekal uang, jadi harus ada modal kepintaran dari Refi sendiri. Tapi bagaimanapun harus sekolah," ujar Satiran.
Ia mengungkapkan, Refi sejak kecil sangat tekun dalam menuntut ilmu dan selalu mengutamakan sekolah. Ketekunan dan kegigihan anaknya inilah yang meyakinkannya Refi memiliki kemampuan yang cukup untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Refi mengerti betul kondisi keluarga, sehingga tidak mau memberatkan orang tua dengan pengeluaran-pengeluaran pribadi. Bahkan, sejak beberapa tahun lalu, Refi sudah rutin pula memberikan pelajaran tambahan bagi anak-anak di desanya.
Meski penghasilan yang diterima tidak seberapa, setidaknya dengan pekerjaan ini Refi bisa mendapatkan uang saku. Untuk mendapat penghasilan tambahan, sejak bulan lalu Refi sudah pula tinggal di Yogyakarta bersama saudara tirinya.
Refi membantu saudaranya berjualan di sebuah angkringan, sembari menunggu panggilan untuk bekerja di sebuah pusat perbelanjaan. Kedua orang tuanya sempat tidak merestui keinginan Refi untuk bekerja sembari menempuh pendidikan.
Mereka ingin Refi fokus tanpa khawatir hal-hal lain. Tapi, Refi meyakinkan kalau akan membagi waktu dan mengutamakan kuliah. Meski berat, Satiran dan Surminah melepas Refi berkuliah di UGM, dengan harapan Refi meraih masa depan lebih baik.