Senin 25 Jul 2022 15:13 WIB

Dulu Berjaya, Biogas Limbah Tahu Kalisari Banyumas Kini Kurang Berdaya

Sekarang hanya ada tiga IPAL yang berfungsi dari enam IPAL biolita.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Karno, Sekretaris Desa Kalisari tengah menunjukkan IPAL Biolita (Biogas Limbah Tahu) di Desa Kalisari, Kec. Cilongok, Kab. Banyumas.
Foto: Republika/Idealisa masyrafina
Karno, Sekretaris Desa Kalisari tengah menunjukkan IPAL Biolita (Biogas Limbah Tahu) di Desa Kalisari, Kec. Cilongok, Kab. Banyumas.

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Hampir satu dekade lalu, Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dikenal sebagai Desa Mandiri Energi, berkat produksi gas yang dihasilkan oleh biogas dari limbah tahu (biolita). Melalui biolita, limbah tahu cair dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan untuk memproduksi gas.

Kini, kejayaan tersebut berangsur menghilang, dua kepala desa selanjutnya hanya dapat merasakan sisa-sisa biolita yang kini bekerja minimum. Sebagai salah satu sentra tahu terbesar di Kabupaten Banyumas, limbah tahu telah sejak lama menimbulkan pencemaran di sungai yang mengalir di daerah tersebut bahkan hingga menimbulkan gagal panen.

Karena limbah tahu menyebabkan unsur tanah di wilayah tersebut memiliki endapan asam yang membuat kadar keasaman tanahnya cukup tinggi. Hal ini menjadi perhatian khusus pada 2008, sehingga almarhum kades saat itu, H Wibowo, membawa air limbah tersebut untuk diteliti oleh Kemenristek hingga mendapatkan bantuan dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).

"Dulu sempat bawa sampel ke ristek dan diuji lab, ternyata limbahnya bisa dimanfaatkan. Akhirnya muncul bantuan penanganan limbah dari BPPT," ujar Karno, sekretaris Desa Kalisari kepada Republika.

Sekitar 2009, BPPT melalui pendanaan dari Kemenristek mengembangkan teknologi reaktor untuk pengolahan limbah cair industri. Lembaga ini menilai limbah tahu di Desa Kalisari potensial untuk dikembangkan, sehingga desa ini mendapatkan bantuan program pengolahan limbah tahu untuk menjadi biogas.

Kemudian BPPT membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah Biogas Limbah Tahu (IPAL Biolita) di desa tersebut yang dikelola bersama-sama dengan pengrajin tahu setempat. Dari pengolahan limbah tahu tersebut dapat memenuhi kebutuhan gas rumah tangga di sekitar IPAL.

Gas yang dihasilkan dari IPAL disalurkan melalui jaringan pipa ke kompor rumah tangga warga yang telah dimodifikasi. Kemudian selanjutnya, melalui bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Dinas Lingkungan Hidup, IPAL kembali dibangun pada 2010, 2012, 2013, 2017, dan yang terbaru pada 2019.

Hanya dengan membayar sekitar Rp 20 ribu sebulan kepada kelompok pengrajin tahu yang menyuplai limbah ke IPAL, sekitar hampir dari 150 KK di desa tersebut dapat menikmati biogas. Berkat ini, Desa Kalisari meraih penghargaan Desa Mandiri Energi dari Kemenristek pada 2015.

Beberapa pencapaian saat itu yaitu berkurangnya pencemaran di sungai, dan pemanfaatan sisa limbah dari IPAL menjadi pupuk cair pertanian. Akan tetapi kejayaan di masa itu semakin menurun, karena sekarang hanya ada tiga IPAL yang berfungsi dari enam IPAL biolita.

Itu pun tidak semuanya dapat bekerja dengan maksimal. "Awal-awal masih dibantu oleh pihak BPPT yang rutin memantau dan memperbaiki kerusakan IPAL. Sekarang sudah banyak yang rusak dan perlu diperbaiki," kata Karno.

Manfaat biogas

Tidak hanya dari sisi IPAL, limbah tahu cair yang diperlukan untuk bahan baku juga berkurang karena industri tahu menurun sejak pandemi dan harga kedelai melonjak. Sebelum pandemi, ada sebanyak 280 perajin tahu, dan diperkirakan telah menurun sejak itu.

Slamet Riyadi, pengelola Biolita 1 yang dibangun oleh BPPT mengungkapkan bahwa kelompok pengrajin tahu yang menyuplai limbah tahu ke Biolita kini semakin berkurang, sehingga saat ini hanya sedikit yang masih bisa menikmati biogas.

"Dulu 25 rumah di sekitar Biolita bisa menikmati hasilnya, sekarang paling tinggal 7-10 rumah. Perajinnya masih tetap jalan, tapi limbahnya tidak semua masuk," ungkap Slamet.

Menurut Slamet hal ini karena banyak perajin yang malas untuk membuang limbahnya di aliran yang menuju ke tempat penampungan IPAL. Penyebabnya, lokasi produksi beberapa perajin tahu yang telah berpindah dari lokasi yang sebelumnya ada infrastruktur penyaluran air limbah.

Ia mengakui biogas ini sangat bermanfaat untuk masyarakat sekitar biolita, sehingga ia sangat menyayangkan para perajin tahu yang kini tidak lagi aktif di kelompok ini.

"Untuk memasak jadi menghemat untuk beli gas. Kelompok kita masih aktif sebenarnya, karena ada keuntungan dengan masyarakat bayar ke kita, tapi pengrajinnya cuma sedikit," ujarnya.

Kendati begitu, Pemerintah Desa Kalisari terus berupaya untuk mengembalikan kejayaan biolita ini. Menurut Kepala Desa Kalisari saat ini, Endar Susanto, diperlukan anggaran sekitar Rp 1,5 miliar untuk memperbaiki tiga IPAL yang mengalami kerusakan.

"Kami sudah mengajukan ke BPPT, lalu ke dewan kabupaten dan provinsi. Tapi memang selama pandemi anggaran banyak yang dialihkan untuk penanganan pandemi," ungkap Endar.

Biaya yang tidak sedikit itu untuk pembenahan jaringan dan tempat pembuangan limbah. Dengan kondisi kerusakan saat ini, diperkirakan hampir sama dengan membangun IPAL yang baru, di luar infrastruktur yang sudah ada.

Meski kondisinya sudah tidak lagi bekerja secara maksimal, diakui bahwa keberadaan biolita ini dapat membantu masyarakat untuk lebih berhemat dalam pembelian gas elpiji.

Oleh karena itu, Pemerintah Desa Kalisari masih terus memperjuangkan untuk bisa mengembalikan kejayaan IPAL biolita. "Terus kami upayakan bisa kembali beroperasi semua," kata kades.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement