Kamis 28 Jul 2022 15:47 WIB

KUB Batik Banyumasan Pringmas Kembali Bangkit Usai Pandemi

Peminat edukasi batik di Pringmas juga perlahan bangkit.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Motif-motif batik Banyumasan KUB Pringmas, Kabupaten Banyumas.
Foto: KUB Pringmas
Motif-motif batik Banyumasan KUB Pringmas, Kabupaten Banyumas.

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Kelompok Usaha Bersama (KUB) Batik Pringmas Desa Papringan, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, perlahan kembali bangkit setelah terpuruk selama pandemi dua tahun terakhir ini.

Dikenal sebagai sentra batik khas Banyumasan, Desa Papringan memiliki banyak perajin batik yang sudah turun temurun. Didirikan pada 2013 oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Purwokerto, KUB Batik Pringmas saat ini membawahi sekitar 25 perajin batik.

Ketua KUB Pringmas, Iin Susiningsih menuturkan, awalnya kelompok mereka didirikan dari sebanyak 30 perajin batik. Sebelum bergabung menjadi kelompok, mereka merupakan pengobeng atau buruh yang menjual hasil membatik mereka kepada pengusaha batik.

Saat itu, upahnya terbilang sangat sedikit, hanya Rp 3.000 per lembar untuk batik cap, dan Rp 15-35 ribu untuk batik tulis. "Padahal membuatnya lama, ada tujuh tahapan, tapi upahnya sangat kecil. Miris kan?" ujar Iin kepada Republika.co.id, Kamis (28/7/22).

Akan tetapi, membatik memang sudah menjadi budaya di desa ini, sehingga mereka terus melestarikannya. Hingga kemudian KPw BI Purwokerto membantu mereka dengan membentuk KUB dan memberikan pembinaan dari teknis membatik hingga pemasaran.

Dengan binaan tersebut, KUB Batik Pringmas mulai melebarkan sayapnya dan meningkatkan kesejahteraan para pembatik. Kini, ongkos membatik diberi harga sekitar Rp 50-80 ribu per lembar.

"Lilin dan kainnya sudah dikasih. Yang membatik tinggal mengerjakan, dan ongkos membatiknya sekitar Rp 50-80 ribu tergantung kerumitan," ungkap Iin.

Sentra batik ini sangat dikenal hingga sering mengikuti pameran-pameran serta dikunjungi untuk mendapatkan edukasi mengenai batik. Ada ratusan motif khas Banyumasan yang diproduksi oleh Pringmas. Motif alam Papringan merupakan andalan dan khas Pringmas yang memang terletak di Desa Papringan.

Lama pengerjaannya paling lama satu bulan untuk satu lembar kain batik tulis untuk satu perajin. Untuk pewarnaannya sendiri, batik Pringmas terdiri dari batik tulis dan cap dari pewarna sintetis maupun alami (ecoprint).

Harga pun bervariasi, paling murah sekitar Rp 130 ribu untuk batik cap, untuk batik ecoprint Rp 150-200 ribu, sedangkan batik tulis dibanderol Rp 400 ribu hingga Rp 1,5 juta. Pemasarannya dilakukan secara offline maupun online, serta di pameran-pameran UMKM yang kerap diadakan pemda dan Bank Indonesia.

Limbah pewarna tentunya menjadi kekhawatiran di lokasi industri, apalagi letak desa ini di dekat Sungai Serayu. Namun, Iin memastikan limbah pewarna teratasi dengan baik karena mereka memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). "Jadi ketika airnya keluar sudah dalam keadaan bersih dari limbah pewarna," imbuh Iin.

Akan tetapi, selama pandemi Pringmas sangat terpuruk. Usaha batik merugi karena tidak mendapatkan pesanan selama dua tahun belakangan. Bahkan para perajin terpaksa harus beralih profesi untuk bertahan hidup selama pandemi.

"Meskipun tidak ada pesanan kami tetap membatik, jadi ya rugi. Baru tahun ini ada pesanan dari Jakarta, dan diikutkan pameran oleh BI, alhamdulilah batik yang tadinya numpuk sudah berkurang," kata Iin.

Tidak hanya menjual batik, Pringmas juga membuka workshop membatik langsung di Galeri Batik Pringmas. Peserta berasal dari anak-anak sekolah hingga instansi pemerintah.

Sama seperti konsumen yang kembali datang, peminat edukasi batik di Pringmas juga perlahan bangkit. Pada Mei lalu, Pringmas kembali mendapatkan tamu peserta batik dari siswa-siswa MAN asal Cilacap. "Kelas batiknya kapanpun akan kami layani, hasil membatiknya juga bisa dibawa pulang," ujarnya.

Menurutnya, ini berkat KPw BI Purwokerto dan Pemkab Banyumas yang berupaya untuk membangkitkan kembali UMKM di Banyumas. Kendati begitu, ia mencemaskan tantangan yang datang usai pandemi.

Saat ini, harga bahan baku batik yang semuanya naik, terutama harga kain yang melonjak drastis sebesar 30-50 persen. Apalagi batik, terutama batik tulis yang berharga mahal, bukan merupakan produk yang dapat terjual cepat.

"Ini menjadi tantangan besar kami untuk melestarikan batik. Jangan sampai sudah diklaim dan dipromosikan sebagai warisan budaya, tapi pembatiknya kesulitan," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement