REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Selama ini, keterlibatan konsumen dalam penentuan regulasi ekosistem pertembakauan dinilai masih minim. Hal ini dinilai menggambarkan adanya praktik diskriminatif dan ketidakberimbangan.
Padahal, ekosistem pertembakauan dinilai memberikan sumbangsih nyata dalam bentuk penerimaan negara, yakni cukai hasil tembakau (CHT), yang porsinya sekitar 10 persen dari APBN atau sekitar Rp 188 triliun pada tahun lalu.
Komisioner Ombudsman DIY , Agung Sedayu, menuturkan sesuai amanah undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak konsumen, serta memberikan akses kepada publik dalam perumusan regulasi sebelum aturan tersebut resmi diterapkan. Namun, pada kenyataannya hak partisipatif publik sering terabaikan. Ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan hak tidak boleh terjadi dalam proses penetapan hukum.
"Hak konsumen yang telah berkontribusi lewat penerimaan negara memang belum sepenuhnya terpenuhi. Pelibatan langsung hak konsumen menjadi penting dan mendesak. Tanpa inovasi kebijakan, hak konsumen ekosistem pertembakauan hanya berakhir sekadar menjadi angka. Hak konsumen telah terabaikan dibandingkan kewajiban lewat pengenaan CHT yang telah mencapai Rp 188 triliun pada tahun lalu," kata Agung dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Ketimpangan Perlindungan Hak Konsumen dalam Kebijakan Ekosistem Pertembakauan yang diinisiasi oleh Pakta Konsumen di Yogyakarta, Rabu (10/8/2022).
Agung menegaskan kebijakan dan pengambilan keputusan terkait regulasi dalam ekosistem pertembakauan perlu dievaluasi dan dikoreksi. Mulai dari sisi produksi hingga konsumsi, pemenuhan hak konsumen dirasa masih kurang elok.
"Pemenuhan hak konsumen perlu sinergi jejaring komunikasi dan konsolidasi dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah hingga lintas organisasi seperti Pakta Konsumen. Agregasi aspirasi konsumen yang dilakukan kali ini diharapkan bisa menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang progresif dalam menerapkan strategi inovasi kebijakan ekosistem pertembakauan. Komitmen terhadap pemenuhan pelayanan publik hingga ruang konsumen, bisa dilakukan secara maksimal," kata Agung.
Ketua Umum Pakta Konsumen, Andie Kartala, menuturkan sejak dilahirkannya dan diterapkannya peraturan daerah kawasan tanpa rokok (KTR) di berbagai lokasi, konsumen tidak pernah dilibatkan padahal kebijakan dan regulasi tersebut secara jelas mengatur konsumen dengan sangat ketat. Ia menegaskan bahwa konsumen produk tembakau memiliki tanggung jawab pada negara dalam bentuk CHT dan pajak yang diamanatkan dalam PMK 192/PMK.010/2021.
"Partisipasi konsumen dalam regulasi nyaris tidak ada. Tidak pernah dilibatkan mulai dari public hearing, penyusunan naskah akademik sampai sosialisasi. Sehingga regulasi yang dihasilkan tidak berkeadilan, hanya dilihat dari satu sisi. Padahal, kami, konsumen produk tembakau adalah penyumbang cukai terbesar namun dalam praktiknya seperti anak tiri, distigma sebagai pembawa sumber penyakit, warga kelas dua. Seolah-olah stereotype konsumen ini adalah beban negara. Doktrin-doktrin ini yang kemudian ditegaskan dalam teror-teror di kemasan informasi produk tembakau yang membuat konsumen semakin dipinggirkan," katanya.
Konsumen, lanjut Andi, tidak anti-regulasi. Konsumen bersedia diatur dan siap memenuhi kewajibannya. Namun tidak sebanding dengan sumbangsih yang diberikan. Kebijakan, aturan dan regulasi yang ditujukan pada konsumen produk tembakau hanya menekankan pada pelarangan bukan pembatasan. "Perlakuan ini sangat menyakitkan bagi kami sebagai konsumen," katanya.
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Antonnius Fokki Ardianto, menyatakan tidak memungkiri bahwa ada regulasi baik di tingkat daerah maupun pusat yang belum mengakomodir kepentingan semua pihak, termasuk hak konsumen. Hal ini, menurut Fokki, karena masih lemahnya perjuangan kolektif suara konsumen itu sendiri. Pemerintah, lanjut Fokki, membutuhkan bukti nyata dalam bentuk data jumlah suara konsumen yang signifikan agar penyusunan regulasi dapat melindungi hak konsumen.
"Harus ada data yang representatif, yang menggambarkan kontribusi dan sumbangsih konsumen minimal per teritorial (daerah) agar konsumen punya daya tawar. Kebijakan harus disusun berdasarkan data dan fakta pendukung. Termasuk penerapan Perda KTR DIY yang berdampak pada konsumen," kata Fokki.
Dari sudut pandang akademisi, Antonius Budi Susilo, menuturkan bahwa lemahnya data kuantitatif dan kualitatif terkait jumlah konsumen dan produk tembakau itu sendiri membuat regulasi pengendalian tembakau semakin masif dan penuh tekanan. Dengan pendekatan masalah pembangunan, tembakau terlanjur dianggap dan disudutkan sebagai komoditas yang distigma negatif.
"Minimnya pehatian dan kesempatan yang diberikan pemerintah untuk mengembangkan manfaat komoditas tembakau secara saintifik, membuat tembakau mudah digilas isu kesehatan. Sehingga regulasi terkait pertembakauan yang ada hingga saat ini dikelilingi intervensi masalah kesehatan dan mengabaikan hak konsumen," ujar akademisi Universitas Sanata Dharma ini.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono, memaparkan peran ekosistem pertembakauan sangat signifikan dalam pembangunan negeri ini. Tidak sedikit daerah-daerah sentra tembakau yang secara nyata telah memberikan multiplier effect perekonomian bagi kawasan sekitarnya dan bagi negara. Hananto menuturkan, ekosistem pertembakauan adalah salah satu potret realita gotong royong. Mulai dari petani, pekerja, UMKM, peritle, industri hingga konsumen. Satu regulasi dibuat yang ditujukan bagi satu elemen, maka yang terdampak adalah seluruhnya.
"Pemerintah jangan melihat ekosistem ini hanya sebagai satu unsur. Ada keberlangsungan 24 juta penghidupan yang bergantung pada ekosistem ini. Termasuk peran konsumen sebagai end user yang sangat penting sebagai pengguna yang taat dalam membayarkan cukai dan pajaknya melalui setiap satu batang produk yang dibeli dan dikonsumsi," ujar Hananto. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mulai mengarahkan pandangannya dan melibatkan konsumen dalam porsi yang bijak dalam setiap perumusan dan penerapan regulasi ekosistem pertembakauan.
FGD ini diikuti oleh berbagai lintas komunitas dan organisasi di Yogyakarta, seperti APTI Yogyakarta, Repdem, SRMI, GP Ansor DIY, Komunitas Arjuna, FSPRTMM, Inres Istitute dan perwakilan BEM DIY.