REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan 30 juta pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk go digital. Dari target tersebut, saat ini telah ada 19 juta UMKM yang bergabung di ekosistem digital.
Mengenai hal itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa angka tersebut bisa tercapai. Namun, yang terpenting bukan angka, melainkan keberlanjutan pelaku usaha dalam memanfaatkan platform digital.
Dirinya pun mengungkapkan sejumlah tantangan agar UMKM bisa go digital. Salah satunya adalah sumber daya manusia (SDM) yang kurang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi.
"UMKM itu sebagian didominasi oleh baby boomers atau Gen X yang adaptif digital masih rendah, jadi bagaimana pendampingan dari kementerian, pemerintah daerah, BUMN untuk mempercepat adopsi digital pada UMKM," katanya dalam siaran pers, Kamis (18/8/2022).
"Jadi misal UMKM itu diberitahu bahwa kalau pake QRIS tuh lebih efisien pencatatannya jadi lebih baik, harus terus menerus sosialisasi, ada edukasi digital," ujarnya.
Selanjutnya adalah masih minimnya akses untuk pengadaan barang dan jasa melalui UMKM. Padahal pemerintah memiliki target 40 persen barang dan jasa berasal dari UMKM.
"Harus ada keberpihakan, misalnya regulasi untuk platform e-commerce sehingga dia bisa lebih menyerap lagi produk UMKM, itu juga akan banyak UMKM masuk ke sistem digital," ucap Bhima.
Untuk tantangan utamanya, kata dia, adalah soal infrastruktur yang masih belum memadai. "Salah satunya adalah infrastruktur internet, ini terutama di wilayah pedesaan gap-nya masih cukup melebar," ungkapnya.
Terkait hal tersebut, saat ini ada operator yang telah melakukan merger, yakni Indosat Ooredoo (PT Indosat Tbk) dan Tri (PT Hutchison 3 Indonesia/H3I) menjadi Indosat Ooredoo Hutchinson (IOH). Menurutnya, ini akan mampu menghadirkan akses internet yang dapat lebih menjangkau wilayah yang belum ter-coverage.
"Iya itu akan memiliki peran, tapi bukan hanya penyediaan akses internetnya, diharapkan dia juga masuk dalam supporting-nya, seperti cloud computing, data center kemudian juga fasilitas yang mendukung ekosistem digital," ujar Bhima.
"Jadi tidak hanya kita lihat merger ini semata hanya untuk meningkatkan penetrasi internet, tapi melengkapi ekosistem digital yang lebih baik," tutup dia.
Tentang merger operator telekomunikasi ini, anggota Komisi I DPR Rizki Aulia Rahman Natakusumah mendukung upaya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) agar provider bisa mendukung program pemerintah memperluas cakupan layanan hingga ke penjuru nusantara. Hal ini juga sejalan dengan program Indonesia Merdeka Sinyal 2024.
"Agar ini dilecut sedikit untuk memperluas jaringan ke daerah, untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat," ujar Rizki dalam keterangannya kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Menurut Rizki, Komisi I DPR RI menantikan komitmen Kominfo untuk memperluas jaringan komunikasi. Apapun yang menjadi upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat bakal didukung penuh. Hal ini karena berkaca dari berbagai kondisi bahwa banyak daerah yang masih belum terjangkau sinyal seluler dan internet dan menyulitkan kegiatan belajar mengajar siswa di masa pandemi. Belum lagi jika bicara masalah potensi ekonomi digital.
"Kita dorong, kita dukung, kita nantikan, dan kita awasi," kata dia.
Rizki menyebut langkah merger yang dilakukan oleh operator seperti Indosat dan Tri memang harus didukung pemerintah dengan regulasi yang komprehensif. Begitu juga dengan upaya merger yang dilakukan oleh operator lainnya misalnya XL Axiata. Hal ini untuk memperkuat mereka dari sisi bisnis, juga menyederhanakan operator yang ada. Di lain sisi juga agar konsumen diuntungkan dengan tarif yang makin terjangkau.
"Pemerintah harus mendukung hal ini untuk memperkuat perusahaan telekomunikasi di Tanah Air," kata dia.