REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Politik internasional di wilayah Asia Timur bergejolak karena kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taiwan pada awal Agustus 2022. Kunjungan tersebut mendapat kutukan dari Cina lantaran AS dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri mereka. Pakar hubungan internasional Unair, Safril menuturkan, kunjungan Pelosi ke Taiwan sebenarnya hal biasa karena telah banyak contoh senator AS yang berkunjung ke sana.
Menurutnya, justru yang tidak biasa adalah respons Cina di mana mereka merasa Negeri Paman Sam melanggar kedaulatan teritori mereka. Safril mengatakan, ketegangan antara Taiwan dan Cina sudah puluhan tahun, yang artinya ini bukan krisis melainkan hanya status quo dalam hubungan mereka.
"Respons Cina yang ekstra ini ditanggapi oleh komunitas global seakan ini merupakan potensi menuju perang dunia ketiga. Padahal aslinya itu biasa saja. Latihan militer Cina juga sudah berakhir beberapa hari lalu, begitu pula latihan militer Taiwan yang tentunya mereka waspada dengan presensi Cina,” ujar Safril, Jumat (19/8/2022).
Alumni National Chengchi University itu melanjutkan, satu kesamaan yang melatarbelakangi kunjungan Pelosi ke Taiwan dan respons Cina adalah kapitalisasi politik domestik untuk AS, Cina, dan Taiwan. Safril mengatakan, kelompok yang sedang berkuasa di ketiga negara tersebut sedang sama-sama akan mengahadapi pemilu, dan mereka akan mencari legitimasi pada konstituen di arena politik internasional.
Safril menjelaskan, Sekretaris Jenderal Partai Komunis sekaligus Presiden Cina Xi Jinping sedang berambisi untuk menyabet periode ketiganya pada Kongres partai November nanti. Safril menuturkan bahwa pemimpin tiga periode ini belum pernah dilakukan sebelumnya di sana. Jadi respon tangan besi Xi pada kunjungan Pelosi pasti meningatkan popularitasnya pada publik yang tidak secara umum tak mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara.
Begitu pula di Taiwan yang akan menggelar Pilkada pada awal November 2022. Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen yang merupakan kader Democratic Progressive Party tentu saja berupaya menggunakan kunjungan ini untuk meningkatkan popularitas partainya. Apalagi Taiwan ini butuh pengakuan internasional.
"Karena ia hingga saat ini masih belum menjadi anggota tetap PBB karena secara teknis Taiwan bukanlah negara yang berdaulat,” ujarnya.
Begitu pula dengan Partai Demokrat, di mana Pelosi menjadi seorang kader. Safril mengatakan bahwa AS akan menggelar pemilu sela pada November ini, di mana konstituen akan memilih satu per tiga dari total senator, gubernur, dan wali kota di negara tersebut.
"Teori ini diperdebatkan, tetapi yang jelas bahwa Presiden Joe Biden, seorang Demokrat, sedang menggeluti problem inflasi tinggi sehingga butuh momentum lainnya untuk meningkatkan legitimasi partai," kata Safril.
Safril berpendapat, Biden sengaja membiarkan Pelosi berkunjung ke Taiwan atas dasar haknya sebagai legislator. Ini juga menunjukkan bahwa AS tidak takut dengan Cina dalam kontestasi global, mengingat pada era Trump juga terjadi perang dagang antara kedua negara tersebut.
Bila tidak ada eskalasi yang tak diduga, Safril mengatakan, ketegangan ini berdampak relatif kecil pada komunitas global. Menurutnya, memang memungkinkan bakal adanya ketidakpastian pasar, karena keengganan kapal kargo untuk melewati Laut Cina Selatan dan terhambatnya ekspor semikonduktor Taiwan ke berbagai penjuru dunia.
“Bagi masyarakat Indonesia, harus digarisbawahi bahwa ini hanya ketegangan biasa. Tapi jangan dibiarin juga, karena potensi eskalasi ini selalu ada. Harus digemborkan terus pesan-pesan deeskalasi,” kata dia.