Oleh : Fernan Rahadi
REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan di judul tulisan ini cukup lama mengganggu benak penulis. Sebenarnya masihkah ada pejalan kaki (pedestrian) di Kota Yogyakarta? Atau mungkin pertanyaan lebih tepatnya: Masihkah ada warga Yogyakarta yang mau berjalan kaki?
Pertanyaan tersebut barangkali terkesan berlebih-lebihan atau bahasa kekiniannya: lebay, mengingat Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini cukup gencar membangun jalur pedestrian di berbagai lokasi, bahkan lengkap disertai guiding block untuk penyandang disabilitas. Tentunya, pembangunan tersebut tak lain dan tak bukan diperuntukkan untuk kepentingan warga Kota Yogyakarta.
Akan tetapi mungkin juga pertanyaan tersebut patut menjadi renungan kita bersama. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari jika jalur pedestrian yang telah menghabiskan anggaran puluhan miliar rupiah tersebut tampak sepi pejalan kaki. Hal itu terlihat di sejumlah jalur pedestrian seperti di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Suroto Kotabaru yang sehari-hari kerap dilewati penulis.
Kegelisahan penulis semakin menguat membaca hasil pemantauan Forum Pemantau Independen (Forpi) Yogyakarta pekan lalu, di mana jalur pedestrian di Jalan Ahmad Dahlan dan Jalan Senopati mulai beralih fungsi menjadi tempat usaha. Terlihat di beberapa tempat usaha tersebut, baik yang berupa rumah makan maupun warung usaha, terdapat pelanggan yang memarkir kendaraan roda dua di jalur pedestrian.
Hal ini tentunya memancing pertanyaan tambahan: Sudah susah-susah dibuatkan jalur pedestrian, kok tidak ada yang berjalan kaki? Malah jalur yang sudah dibuat bagus-bagus tersebut dibuat peruntukan lain seperti tempat usaha pedagang kaki lima dan parkir kendaraan roda dua.
Kalau begitu praktiknya di lapangan berarti apakah salah Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta menghabiskan miliaran rupiah untuk membangun jalur pedestrian? Lalu kembali ke pertanyaan awal: Masihkan ada pejalan kaki di Kota Yogyakarta yang bisa memanfaatkan fasilitas jalur pedestrian tersebut untuk mereka gunakan?
Tak bisa dipungkiri, masyarakat modern saat ini sangat menghamba dengan segala sesuatu yang serba cepat. Hal itu pun berlaku juga pada pilihan moda transportasi. Maka tak heran jika moda transportasi seperti mobil dan sepeda motor menjadi pilihan utama masyarakat Yogyakarta. Hal itu karena keduanya menjamin kecepatan untuk sampai ke tempat tujuan.
Sebenarnya moda transportasi bus, seperti yang kerap lalu-lalang di kota ini pada tahun 90-an, juga menggaransi kecepatan tersebut. Sayangnya, transportasi umum jenis ini akhir-akhir ini kurang diminati warga.
Selain dikarenakan masyarakat yang semakin terbiasa menggunakan kendaraan pribadi, armada bus -Trans Jogja misalnya- pun secara jumlah kurang memadai. Akibatnya, masyarakat ingin menggunakan armada tersebut kerap harus menunggu lama di halte.
Padahal, seperti bisa dilihat di negara-negara maju, jalur pedestrian menjadi pilihan utama masyarakat dikarenakan salah satunya jalur tersebut terintegrasi dengan transportasi umum. Selain tentunya alasan berjalan kaki membuat tubuh lebih sehat.
Jika faktor transportasi umum ini bisa dipecahkan Pemkot Yogyakarta, kiranya tak lama lagi warga akan mau kembali menjadi pedestrian. Selain itu, Pemkot juga perlu melakukan sosialisasi agar warga mau berjalan kaki dan kembali menggunakan alat transportasi umum, mengingat banyak juga di antara warga yang belum 'ngeh' bahwa fasilitas-fasilitas tersebut sudah ada untuk mereka gunakan.