REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) mendesak pemerintah segera menaikkan tarif angkutan penyeberangan setelah naiknya harga BBM bersubsidi. Sekjen DPP Gapasdap Aminuddin Rifai mengatakan, kenaikan harga solar bersubsidi yang mencapai 32 persen semakin menambah berat beban operasional angkutan penyeberangan.
"Sebelumnya sudah terbebani akibat ketertinggalan tarif dari biaya pokok yang telah dihitung pemerintah sebesar 35,1 persen. Sekarang disusul kenaikan BBM sebesar 32 persen, sehingga hal ini akan semakin menyulitkan kondisi operasional angkutan penyeberangan," ujarnya di Surabaya, Senin (5/9/2022).
Aminuddin menjelaskan, berbeda dengan angkutan laut, di mana perusahaan bisa melakukan penyesuaian tarif sendiri, untuk industri angkutan penyeberangan penyesuaian tarifnya hanya bisa diputuskan pemerintah. Selama ini, lanjut Aminuddin, industri angkutan penyeberangan sudah kesusahan lantaran pemerintah tak kunjung menaikkan tarif yang idealnya lebih tinggi 35,1 persen.
"Ditambah sekarang BBM naik yang efeknya sekitar 10 hingga 12 persen terhadap cost di angkutan penyeberangan," ujarnya.
Aminuddin mengungkapkan, pemerintah menyatakan akan menyicil tunggakan penyesuaian tarif angkutan penyeberangan yang 35,1 persen dalam dua tahap. Artinya, dalam waktu dekat, pemerintah berjanji akan menaikkan tarif angkutan penyeberangan sekitar 17 persen. Jika dikalkulasi dengan imbas kenaikkan BBM, lanjut Aminuddin, maka kenaikkan tarif tersebut seharusnya bisa mencapai 29 persen.
"Mudah-mudahan dalam waktu satu atau dua hari pemerintah sudah mengumumkan kenaikkan tarif ini. Kalau kemarin kami masih bisa menunggu, kalau sekarang karena BBM naik kami sudah tidak lagi bisa menunggu. Kalau gak segera dinaikkan, angkutan penyeberangan bisa mati," kata Aminuddin.
Aminuddin menjelaskan, biaya untuk BBM merupakan komponen biaya terbesar pada sektor transportasi penyeberangan. Jika tidak cepat dinaikkan dan mengakibatkan pelayanan terhenti maka dampaknya baik secara sosial, ekonomi, serta politik akan sangat besar.
"Bagaimana jika dalam sebuah lintas, tidak ada satu pun kapal yang dapat melayani karena tidak mampu untuk beroperasi?" ujarnya.