REPUBLIKA.CO.ID, SUPIORI -- Indonesia telah merdeka selama 77 tahun dan banyak kemajuan yang dinikmati oleh masyarakatnya. Namun, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menyebutkan kualitas masyarakat di kawasan timur Indonesia tertinggal setidaknya satu dekade dibandingkan dengan masyarakat di kawasan barat Indonesia. Papua adalah salah satu dari sepuluh provinsi yang memiliki IPM terendah.
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu aspek pembentuk IPM. Keberpihakan pada kaum marginal diperlukan dan harus direalisasikan dengan banyak terobosan yang berani agar kawasan timur Indonesia, utamanya Papua, tidak tertinggal. Keberpihakan itulah yang menjadi prioritas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) untuk mengembangkan pendidikan di Papua.
"Akibat pandangan dan budaya lama di Papua yang membuat siswa enggan bersekolah maka GSM coba membuat terobosan baru dalam transformasi pendidikan dengan membuat komunitas guru yang setara untuk saling bertukar praktik baik pendidikan, dan pengalaman profesional mengajar lintas jenjang pendidikan sekaligus lintas budaya di seluruh Indonesia," tutur pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal dalam siaran pers, Selasa 913/9/2022).
Rizal menambahkan melalui workshop yang dilakukan GSM dengan mengubah mindset para guru, GSM akan memperbanyak ruang-ruang perjumpaan bagi guru-guru di Papua agar dapat berinteraksi, berjejaring, dan berkolaborasi dengan guru-guru di luar Papua. Ruang perjumpaan ini akan melahirkan budaya keterbukaan dan kreativitas bagi para guru di Papua untuk mempunyai banyak pilihan alternatif di dalam mengajar dan menciptakan kultur sekolah masa depan.
Ruang perjumpaan, konektivitas, dan ruang inklusivitas akan menciptakan komunitas yang membangun imajinasi dan narasi masa depan agar mengalami keterbukaan terhadap perubahan.
"Papua menarik karena yang bergerak bukan hanya gurunya, tetapi Kepala Dinas Pendidikan Supiori yang justru menginisiasi adanya pelatihan perubahan mindset GSM dengan mendatangkan tim GSM jauh-jauh dari Yogya. Raffles Ngilamele sebagai kepala dinas tidak terjebak pada pendekatan program sehingga pelatihan diselenggarakan tanpa menunggu perencanaan anggaran," jelas Rizal.
Menurut Rizal, pelatihan yang dilakukan di Papua lahir dari inisiatif dan kepedulian untuk mengembangkan guru-guru Papua dengan cara yang tak lazim dan tidak birokratis.
Ideologi memanusiakan manusia dari GSM, salah satunya dengan kemampuan berkomunitas, dapat mengembangkan kultur sekolah yang menyenangkan untuk menghadapi perubahan.
"Pendekatan dan implementasi GSM tidak melalui menyeragamkan pendidikan Papua dengan Indonesia bagian barat, tetapi membuat guru-guru di Papua memiliki ruang untuk berekspresi dengan caranya masing-masing. Contoh pembelajaran yang dilakukan adalah dengan storytelling, menanyakan kondisi siswa sebelum belajar, dan mengajak siswa berinvestigasi terhadap persoalan di sekitar Papua yang membuat siswa belajar secara nyata dan bermakna," ujar Rizal.
Proses inilah yang lebih operasional untuk disalurkan kepada siswa dan tampak dekat dengan persoalan kehidupan sehari-hari agar siswa dapat senang dan riang untuk belajar di sekolah.
Rizal menyatakan, GSM akan mendorong guru-guru Papua untuk memberikan ruang-ruang kreativitas kepada siswa untuk belajar dari mana saja untuk menemukan solusi-solusi atas persoalan yang dihadapi. Pembelajaran seperti ini mendorong murid memiliki kesadaran kritis atas kondisi persoalan yang ada di lingkungan sekitarnya, dalam hal ini Supiori Papua, lalu memiliki kemampuan dan karakter berbuat untuk keluar dari persoalannya sendiri.