REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengamat ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Wisnu Wibowo menilai Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang disalurkan pemerintah tidak akan cukup untuk meredam dampak kenaikan BBM, melainkan hanya menurunkan intensitas saja. Itu pun, lanjut Wisnu, tidak dalam waktu lama.
Menurutnya, untuk meredam dampak kenaikan BBM diperlukan kebijakan dan regulasi yang lebih proaktif, terutama untuk pengembangan usaha produktif masyarakat. Selain itu, kata Wisnu, kebijakan pajak yang akan memberatkan masyarakat maupun pengusaha, lebih baik ditahan terlebih dahulu.
Dalam situasi saat ini, ia melihat bukan hanya masyarakat miskin saja yang memerlukan pertolongan. Golongan masyarakat rentan miskin dan pengusaha pun memerlukannya. Mengingat, kenaikan BBM akan berdampak pada penurunan produksi maupun kenaikan bahan baku yang berdampak pada penurunan volume penjualan.
“Dana penanganan Covid-19 kan sudah tidak ada di tahun depan. Sementara, tekanan terhadap ekonomi untuk UMKM pun belum sepenuhnya hilang karena dampak Covid-19. Sekarang terkena dampak ini. Lalu bagaimana?” kata Wisnu, Selasa (13/9/2022).
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair tersebut menambahkan, bantuan-bantuan lain seperti pembukaan akses pasar dan akses permodalan juga perlu digalakkan. Wisnu mengkhawatirkan, dampak kenaikan BBM akan menaikan suku bunga pinjaman, sehingga beban pinjaman untuk UMKM akan ikut meningkat.
Efek spiral tersebut dinilainya akan semakin menjatuhkan. Ia pun mengimbau, masyarakat untuk ikut memantau pendistribusian BLT yang dilakukan pemerintah.
Selain itu, kenaikan BBM diharapkan akan semakin menyadarkan pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya green economy dan blue economy, atau ekonomi yang ramah lingkungan. “Kendaraan listrik akan susah untuk berkembang, kalau tidak diberi ruang untuk berkembang,” kata dia.