REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG -- Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mendukung program Densus 88 Antiteror masuk ke sekolah, guna memberikan pemahaman tentang bahaya radikalisme kepada anak- anak sekolah.
Orang nomor satu di Provinsi Jawa Tengah ini juga sepakat jika program tersebut melibatkan para eks narapidana terorisme (napiter) guna menjelaskan deradikalisasi itu harus dilakukan seperti apa dan bahaya terorisme seperti apa.
"Ini bukan bermaksud ingin memanjakan mereka (mantan napiter), tapi untuk kepentingan mengedukasi," katanya, usai menerima tim dari Densus 88 Antiteror Polri, di kantor gubernuran, di Semarang, Rabu (21/9).
Menurut gubernur, untuk memberikan edukasi dan pemahaman, mesti mengajak banyak pihak yang terlibat, misalnya para 'aktor' itu diajak menjadi juru bicara untuk menjelaskan deradikalisasi itu bagaimana atau terorisme itu bahayanya seperti apa kepada anak- anak sekolah.
Selama ini, lanjut Ganjar, Pemprov Jawa Tengah sudah mencoba menggandeng eks napiter untuk bercerita mengenai bahaya radikalisme dan terorisme, di antaranya melalui program 'Gubernur Mengajar'.
Dalam kegiatan ini selalu disisipkan pendidikan karakter, bahaya narkoba, hingga pencegahan radikalisasi dalam setiap pertemuan dengan pelajar. Maka Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Kesbangpol juga dilibatkan.
Menurutnya, mengajak dan memberdayakan eks napiter merupakan dukungan pemerintah dalam melakukan deradikalisasi dan membantu mereka kembali diterima dengan baik oleh masyarakat.
Pola lain pemberdayaan eks napiter dan keluarga eks napiter juga dilakukan Pemprov Jawa Tengah melalui pemberdayaan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan perekonomian mereka.
"Jadi dari Densus mencoba komunikasi bagaimana deradikalisasi itu dilakukan dan konsep yang dibuat salah satunya adalah mendorong dari sisi ekonomi. Sehingga peran pemerintah menjadi penting," tegasnya.
Kolaborasi ini, masih kata gubernur, yang bisa membantu untuk menyelesaikan persoalan eks napiter. Tetapi pencegahan juga menjadi penting.
"Kalau kita yang menjelaskan mungkin mereka tidak dapat cerita yang sesungguhnya maka para pelaku diminta untuk cerita. Nah ini pola kerja sama dengan densus yang menurut saya bagus dan saya dukung itu di Jawa Tengah," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Indentifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Polri, Brigjen Pol Arif Makhfudiharto menyampaikan pentingnya pemahaman kepada generasi penerus di sekolah, tentang bahaya radikalisme dan rerorisme.
Menurutnya, Jawa Tengah menjadi episentrum dari radikalisme. Dukungan pemprov Jawa Tengah menjadi sangat penting terutama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat.
Berdasarkan data Densus 88 Anti Teror Polri, hingga awal September 2022, ada 212 narapidana terorisme yang ditahan di Jawa Tengah. Sebanyak 191 orang di dalam lapas di Nusakambangan, sementara di luar Nusakambangan ada 20 orang.
Untuk jumlah mantan napiter di Jawa Tengah ada 230 orang, di antara yang terbanyak adalah di Surakarta 47 orang, Sukoharjo 43 orang dan di Kota Semarang 20 orang.
"Ketika kita bisa bekerja sama, baik dalam komunikasi, berkolaborasi, dan melaksanakan kegiatan yang lebih sinergis tentunya kita bisa menjadikan masyarakat paham bahwa mereka yang kita tangkap itu adalah korban dari ideologi yang disampaikan secara ekstrem yang ujungnya adalah melakukan pelanggaran hukum," jelasnya.
Kerja sama dalam aspek sosial ekonomi, dan internalisasi nilai- nilai luhur Pancasila kepada eks napiter dan keluarganya akan membuat eks napiter memiliki pendirian dan kecintaan kepada negara.
Peran pemerintah sampai tingkat desa/kelurahan dengan otonomi mengelola masyarakat dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya juga menjadi langkah yang bagus untuk deradikalisasi dan internalisasi nilai Pancasila.
Arif juga menjelaskan, ketika seorang teroris ditangkap, maka ada keluarga, ada istri, dan anak yang ditinggalkan di rumah. Jika yang ditangkap kepala keluarga maka keluarga yang ditinggalkan butuh menopang kebutuhan.
Maka dalam hal ini peran pemerintah bisa lebih tepat dengan memberikan kepastian kebutuhan keluarga tercukupi. Sebab, momen ini juga digunakan oleh jaringan teroris untuk masuk dan mengambil keluarga yang ditinggalkan.
Jadi mereka yang ditangkap itu korban dan yang terdampak adalah keluarganya, maka masyarakat juga perlu diberikan pemahaman bahwa mereka ini juga masyarakat dan yang diperangi adalah perbuatannya bukan orangnya.
Upaya menyelamatkan keluarganya juga harus dilakukan agar terputus dengan jaringan (radikal) mereka. Densus 88 sudah memulai disengagement dengan keluarga yang ditinggalkan sejak penangkapan teroris.
"Mulai soal pendidikan hingga kesehatan. Sebab deradikalisasi pelaku menjadi susah ketika keluarga mereka lebih dulu ditarik masuk ke dalam jaringan," tambahnya.
Kerja sama dan kolaborasi antara Densus 88 dengan pemerintah daerah juga terkait pencegahan radikalisasi di kalangan pelajar. Menurut Arif, pola mengajak eks napiter untuk berbicara tentang bahaya radikalisme dan bagaimana proses masuknya merupakan cara efektif.
"Ini kami anggap lebih efektif karena anak-anak sangat rentan tetapi ketika diceramahi oleh penyintas menjadi lebih efektif untuk sebagai narasumber,," tegasnya.