Oleh : Romi Febriyanto Saputro
Indonesia sedang menderita darurat perokok anak. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun. Prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya, pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20%, kemudian naik menjadi 8,80% tahun 2016, 9,10% tahun 2018, 10,70% tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16% di tahun 2030. Meskipun harga rokok terus mengalami kenaikan omzet penjualan rokok semakin meningkat. Penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7,2% dari tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Konsumsi rokok berjumlah 70,2 juta orang dewasa, dan penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari 0,3% di tahun 2011 menjadi 3% di tahun 2021 (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 29 Juli 2022).
Data di atas menunjukkan bahwa perilaku orang dewasa di Indonesia yang gemar merokok melahirkan perilaku “copypaste “ di kalangan anak-anak Indonesia. Keluarga sebagai lingkungan terdekat dengan anak memiliki peran besar mendidik anak-anak menjadi perokok. Kakek gemar merokok, ayah gemar merokok, dan paman gemar merokok dihadapan anak-anak adalah pemicu anak-anak gemar merokok. Jika orang dewasa boleh merokok mengapa anak-anak tidak boleh merokok adalah sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan anak-anak yang suka meniru perilaku orang dewasa.
Seperti dikutip hallodoc.com, 2 Oktober 2018, pada sebuah studi, peneliti menganalisis data selama 8 tahun melalui National Survey on Drugs Use and Health. Survey tersebut mengambil polling acak pada 70.000 anak dengan usia 12 tahun ke atas dan melibatkan 35.000 orangtua. Survey tersebut dilakukan untuk menilai hubungan antara kebiasaan merokok orangtua dengan kebiasaan merokok anak
Ditemukan pada anak dengan orangtua yang tidak merokok, hanya 13 persen yang mengatakan pernah mencoba merokok satu kali di dalam hidupnya. Lalu untuk anak dengan orangtua perokok, 38 persennya pernah mencoba untuk merokok sepanjang hidupnya. Lalu untuk remaja putri, kemungkinan merokok ketika ibunya seorang perokok. Sedangkan untuk remaja putra lebih cenderung merokok jika salah satu orangtuanya merokok.
Selain itu, terdapat dampak lainnya pada anak jika orangtua merokok. Resiko yang mungkin diterima anak dari orangtua dengan kebiasaan merokok selain kecenderungan merokok, yaitu adanya dampak psikologis. Pada sebuah studi mengatakan bahwa anak dengan seorang ibu perokok mempunyai kecenderungan 53 persen lebih besar untuk menunjukkan perilaku negatif, seperti melanggar peraturan, berperilaku kasar, tidak patuh, dan juga menindas orang lain.
Anak dari orangtua dengan kebiasaan merokok juga dapat menerima dampak buruk jika lingkungan sekitarnya banyak perokok. Zat berbahaya di dalam asap rokok, seperti nikotin, dapat menempel di sekitar rumah dan dapat bertahan lama. Hal tersebut biasa disebut dengan third hand smoker. Third hand smoker juga akan lebih berisiko terkena berbagai penyakit.
Sebuah peneliti lokal menemukan bahwa anak-anak memiliki kadar nikotin dalam urinenya sebanyak 4-5 kali lipat lebih tinggi jika ayahnya mempunyai kebiasaan merokok. Anak-anak juga sistem kekebalan tubuhnya masih lemah. Umumnya penyakit yang menyangkut sistem pernapasan seperti asma hingga infeksi saluran pernapasan akut dapat menyerang anak-anak dengan orangtua yang mempunyai kebiasaan merokok.
Merokok sudah lmenjadi budaya yang dianggap wajar oleh masyarakat negeri tercinta ini. Rokok yang sejatinya tidak termasuk makanan apalagi minuman menjadi menu wajib dalam pertemuan-pertemuan yang digelar oleh masyarakat. Budaya merokok terus hadir dalam berbagai dimensi mulai dari pesta pernikahan, kampanye pilkades, kampanye pemilu, bahkan pengajian. Perokok berasal dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan. Melingkupi semua jenis pekerjaan yang ada di tanah air seperti, petani, buruh, karyawan, ASN, perawat, politisi, pejabat publik, guru, dan bahkan dokter.
Kaum perokok tidak hanya berasal dari warga biasa, namun juga datang dari tenaga kesehatan seperti dokter. Menurut survei yang pernah dilakukan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) dan dikutip oleh situs Kantor Urusan Utusan Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals (MDGs), jumlah dokter perokok di Puskesmas di Jakarta sebanyak 16,4 persen. Sementara dokter swasta berjumlah 11 persen dan perawat Puskesmas berjumlah 13,5 persen. Padahal, sebagai tenaga medis, para dokter ini seharusnya menjadi contoh bagi para pasien mereka untuk menjalani pola hidup sehat, termasuk menjauhi rokok (viva.com, 16 November 2014).
Studi Pujianto Thabarny (2012) dengan pendekatan kuantitatif di 9 propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 19,4% guru merokok. Sebanyak 10,3% guru merokok setiap hari di sekolah dan 9,1% guru kadang-kadang merokok di sekolahHasil penelitian mengenai perilaku merokok guru di sekolah menyebutkan dari guru yang merokok harian cenderung merokok di lingkungan sekolah sebesar 85,29%,dari guru yang merokok kadang-kadang sebesar 51,67% yang merokok di lingkungan sekolah.
Penelitian Adila Prabasiwsi dkk (2017) mengungkapkan bahwa guru merokok di sekolah pada jam istirahat dan pada saat guru tersebut tidak mengajar (jam kosong). Perilaku guru merokok di sekolah tersebut diketahui oleh siswa. Guru yang merokok mengetahui adanya aturan yang melarang untuk merokok di kawasan sekolah. Sudah ada yang menegur ketika guru merokok di sekolah, terutama dari teman sesama guru.
Betapa susah menjadi anak-anak Indonesia yang setiap hari digoda untuk merokok oleh “guru” yang ada di sekeliling mereka. “Guru” ini dapat menjelma melalui berbagai rupa melebihi dasamuka mulai dari orang tuanya, kakeknya, pamannya, temannya, tetangganya, dan orang dewasa perokok dari berbagai kalangan. Seperti peribahasa ketika “guru” merokok berdiri, maka “murid” akan merokok dengan berlari.
Peringatan bahaya merokok yang terpampang dengan tidak jelas di bungkus rokok tidak akan pernah dapat menahan nafsu merokok anak-anak karena mereka melihat para “guru” juga merokok. Kenaikan harga rokok yang tidak mempan menghentikan nafsu merokok para “guru” juga menjadi pelajaran berharga bagi anak-anak untuk tidak pula berhenti merokok. Kebijakan pemerintah yang bermuka dua kepada rokok juga sudah diketahui dengan baik oleh anak-anak generasi Z yang lahir pada tahun 2001 hingga 2010 yang mahir bersosial media. Muka masam ketika melihat dari kacamata kesehatan dan muka manis ketika menerima devisa dari cukai rokok.
Padahal program melindungi anak-anak dari bahaya rokok tak boleh bermuka dua. Anak-anak dan remaja harus dilindungi dari rokok, sebab dampak kecanduan nikotin untuk mereka lebih kuat dibandingkan orang dewasa. Menurut dr. Pandang Tedi Adriyanto seperti dikutip Harian Jogja, 1 Juni 2021, salah satu kandungan kimia yang ada pada rokok adalah nikotin yang bisa menimbulkan kecanduan. Semakin dini mulai merokok, maka akan semakin sulit untuk berhenti. Semakin muda seseorang mulai merokok, semakin besar pula risiko kerusakan organ paru-paru dan organ lain seperti pembuluh darah dan jantung. Paparan nikotin berbahaya terhadap tumbuh kembang anak, yakni gangguan kecerdasan dan tingkah laku hingga gangguan konsentrasi karena ada kerusakan pada korteks cerebri.
Semua elemen negeri tercinta seharusnya mulai serius untuk mengurangi kecanduan merokok pada generasi penerus ini. Keseriusan ini dapat dibuktikan dengan mendukung revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 merupakan suatu kebutuhan regulasi yang diamanahkan dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 yang menargetkan turunnya perokok usia 10-18 tahun dari 9,1% menjadi 8,7% di tahun 2024 sehingga revisi ini fokus untuk mengendalikan perokok pemula dalam upaya perlindungan anak.
Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 mengungkapkan bahwa anak-anak usia SMP begitu mudah mengakses rokok karena harga tergolong murah, penjual rokok tidak melakukan seleksi umur, dan boleh membeli eceran. Godaan melalui badai iklan, promosi, dan sponsor rokok merapuhkan pertahanan diri anak-anak. Kehadiran rokok elektronik semakin menambah daya gedor ajakan untuk merokok bagi kawula muda dan anak-anak.
Padahal hasil riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebutkan bahwa kebiasaan merokok menyebabkan beban ekonomi sistem kesehatan di Indonesia dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai Rp27,7 triliun rupiah pada 2019 sehingga menyumbang mayoritas angka defisit BPJS Kesehatan. Selain itu, BPS hampir setiap tahun menyebutkan belanja rokok pada keluarga miskin menempati posisi kedua terbsar setelah beras. Artinya, kesempatan keluarga miskin untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik, terutama dari sisi kesehatan menjadi sangat kecil akibat perilaku merokok. Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI dalam risetnya yang mengolah data Indonesian Family Life Survey (IFLS) menyebutkan, anak pada keluarga perokok berpotensi menjadi stunting baik dari berat badan maupun tinggi badan
Melansir website resmi IDI, idionline.org, 12 Agustus 2022, Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok, bahkan sampa saat ini belum tanda tangan FCTC. Ini menjadi pengingat tugas negara melindungi rakyatnya. Kepentingan kita bukan saat ini, tapi untuk masa depan. Kita perlu dukung pemerintah untuk segera merevisi regulasi yang mengatur konsumsi rokok dan mengontrol masalah kesehatan di Indonesia.
Ketika negara kita ingin mengurangi angka stunting, namun konsumsi rokoknya tidak dikendalikan di hulunya. Kita sepakat dengan transformasi kesehatan yang digulirkan bahwa kita harus mulai bergeser ke promotif dan preventif. Rokok saat sudah di hilir seperti kebakaran hutan, susah dikendalikan. Maka perlu adanya langkah preventif dengan merevisi PP109/2012. Penyakit katastropik akibat rokok menghabiskan 20 triliun atau 50% dari total belanja JKN pada tahun 2020. Dengan adanya rokok bisa merusak cita-cita Indonesia mencapai generasi emas. Karena konsumsi rokok, bayi-bayi yang lahir sudah diinvestasikan menderita penyakit kantrastopik atau penyakit kronis.
Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Kardiovaskular Indonesia, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, dan Komnas Pengendalian Tembakau merekomendasikan, pertama, pembatasan akses membeli rokok dengan tidak memberikan ijin penjualan secara bebas dan melarang penjualan secara eceran. Kedua, pemberian edukasi yang lebih masif dalam berbagai iklan dan materi edukasi, termasuk dengan memperluas peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok. Ketiga, pelarangan upaya yang mendorong anak-anak untuk merokok, mulai dari menggunakan berbagai perasa yang menarik dan mengiklankan produknya di berbagai media, terutama media online. Keempat, pengaturan peredaran dan upaya penekanan konsumsi rokok elektronik melalui peraturan yang sama seperti pada rokok konvensional. Kelima, penegakan peraturan dengan melakukan pengawasan dan memberikan sanksi secara tegas jika terjadi pelanggaran.
Jika kelak PP 109/2012 ini berhasil direvisi, perjuangan berikutnya adalah memberikan literasi teladan yang baik kepada anak-anak Indonesia bahwa menghindari merokok adalah gaya hidup sehat bukan sekedar gaya-gayaan seremonial belaka.
*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen