Senin 24 Oct 2022 11:53 WIB

Satu dari Tiga Remaja Miliki Masalah Mental

Hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Gangguan kesehatan mental.
Foto: Pixabay
Gangguan kesehatan mental.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mengukur angka kejadian gangguan mental remaja usia 10-17 di Indonesia. Survei menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental.

Survei turut menunjukkan satu dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis gangguan mental.

Peneliti I-NAMHS dan Guru Besar FKKMK UGM, Prof Siswanto Agus Wilopo mengatakan, itu sesuai panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5). Jadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.

"Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang dia miliki," kata Siswanto, Senin (24/10/2022).

Penelitian turut menunjukkan gangguan mental yang paling banyak diderita remaja gangguan cemas (gabungan fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) 3,7 persen. Diikuti oleh gangguan depresi mayor 1,0 persen dan gangguan perilaku 0,9 persen.

Terakhir, gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing 0,5 persen. Meskipun akses berbagai faskes sudah meningkat, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional.

Padahal, hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia rentang usia 10-19, jadi populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting perkembangan Indonesia. Terutama, meraih bonus demografi dan merealisasikan visi Indonesia Emas 2024.

Hanya 2,6 persen dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil.

"Dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka," ujarnya.

I-NAMHS mengumpulkan data pengaruh kebijakan terkait pembatasan kontak sosial selama pandemi terhadap mental remaja. Satu dari 20 remaja melaporkan merasa lebih depresi, cemas, kesepian, dan sulit konsentrasi dibanding sebelum pandemi.

Temuan lain dari I-NAMHS, 38.2 persen pengasuh remaja memilih mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja. Tapi, dari semua pengasuh utama yang menyatakan remaja butuh bantuan, 43.8 persen melaporkan tidak mencari bantuan.

"Karena lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman," kata Siswanto.

Siswanto merasa, ketersediaan data prevalensi berskala nasional diperlukan. Data selama ini tidak merepresentasikan Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosis, sehingga perencanaan program dan advokasi dirasa menjadi tidak tepat sasaran.

"Harapannya, I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita," ujarnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement