Jumat 04 Nov 2022 15:45 WIB

Pelaku Usaha Batik Pekalongan tak Rela Daerah Mereka Tenggelam

Perlu antisipasi dampak terburuk problem krisis iklim di Kota Pekalongan.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah warga berjalan melewati banjir rob di Tirto Gang 12, Pekalongan, Jawa Tengah.
Foto: ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Sejumlah warga berjalan melewati banjir rob di Tirto Gang 12, Pekalongan, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, PEKALONGAN -- Para pelaku usaha batik di wilayah Kota Pekalongan, Jawa Tengah, merespons kajian dan studi terkait dampak krisis iklim yang dikhawatirkan dapat menenggelamkan daerahnya.

Sebagai bagian utama dari ekosistem perekonomian di wilayah Kota Pekalongan, para pelaku usaha batik juga tidak ingin krisis iklim terus mengancam bahkan menyudahi roda usaha mereka.

“Kami juga tidak ingin, krisis iklim dan problem lingkungan pesisir ini menenggelamkan Kota Pekalongan,” ungkap perwakilan Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Agus Purwanto, Jumat (4/11/2022).

Mereka pun siap menjadi bagian dari upaya untuk mencari solusi bersama, dalam mengantisipasi dampak terburuk problem krisis iklim di wilayah Kota Pekalongan.

Dalam menjalankan roda usahanya, para perajin dan industri batik di Kota Pekalongan juga terus menjalakan usahanya dengan mengedepankan konsep-konsep usaha yang lebih ramah terhadap lingkungan.

Karena para pelaku usaha batik juga menginginkan Kota Pekalongan sebagai Kota Kreatif sentra industri batik terus terjaga dan bisa lestari, demikian halnya dengan karya-karya batik khas daerahnya.

“Semangat kami jaga bumi, jaga batik sebagai warisan budaya bangsa yang layak diwariskan,” jelas pengurus yang membidangi Pendidikan Pelatihan dan Pengembangan APPBI ini.

Terpisah, Direktur Eksekutif Satya Bumi, Annisa Rahmawati mengingatkan, dalam menyelesaikan persoalan krisis iklim yang berdampak luas, Kota Pekal,ongan butuh sinergitas  seluruh pemangku kepentingan terkait.

Satya Bumi, jelasnya, mendorong agar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, anti-diskriminasi, dan koherensi kebijakan tentang HAM menjadi bagian integral.

Baik dalam ranah perdagangan, investasi, ekonomi, peraturan hukum dan pembangunan. Di sisi lain, kondisi wilayah di Pekalongan bisa menjadi contoh pembelajaran bagi kota-kota lain.

Khususnya agar bisa lebih mempersiapkan dan memprioritaskan langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak luas. “Termasuk di dalamnya kelompok-kelompok masyarakat rentan,” ungkapnya.

Sebagai kota yang dinobatkan kota kreatif dalam Craft and Folks Art oleh UNESCO, krisis yang terjadi di kota Pekalongan ini secara langsung maupun tidak langsung juga mengancam eksistensi identitas dan warisan kebanggaan bangsa Indonesia.

“Di mana batik adalah budaya Indonesia yang telah diakui UNESCO sebagai warisan tak benda (intangible heritage) dunia,” ujar dia.

Sementara itu, Kemitraan Partnership Team Leader of Pekalongan, Andi Kiky menyebut, dalam menghadapi kebencanaam akibat perubahan iklim berdampak pada krisis di semua lini sosial, ekonomi, dan budaya.

Maka diperlukan pengembangan kerja kolaborasi yang berbasis pencegahan dan tidak hanya penanganan. Dengan begitu, advokasi diperlukan dari tingkat tapak hingga di pusat.

Selain itu juga perlu dibarengi dengan aksi pemberdayaan yang juga perlu dijalankan. “Baik pada sisi penguatan ekonomi serta perlindungan pesisir yang bisa meminimalisir kondisi dampak perubahan iklim,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement