REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Bencana kembali melanda bangsa Indonesia. Kali ini, gempa magnitudo 5,6 mengguncang wilayah Cianjur, Jawa Barat. Hingga 22 November 2022, laporan pemutakhiran Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) mencatat 160-an warga meninggal dunia.
Kemudian, 377 luka-luka, 7.060 mengungsi ke posko terdekat, dan 3.167 unit rumah mengalami kerusakan. Kepala Pusat Studi Bencana UGM, Muhammad Anggri Setiawan mengatakan, posisi BPBD akan sangat diperlukan menangani korban dan pengungsi.
Sedianya BPBD melakukan kaji cepat ke seluruh wilayah terdampak untuk pemetaan kebutuhan pengungsi menyeluruh. Ia menilai, fokus sementara tanggap darurat sebaiknya untuk penanganan korban bencana dan mendapatkan tempat yang aman.
Baik tenda darurat atau penampungan perlu diperhatikan soal pemenuhan kebutuhan dasar. Tiap bencana dan dampak yang ditimbulkan perlu waktu penanganan berbeda, umumnya mengacu penyediaan logistik tanggap darurat dan melihat perkembangan.
Untuk bencana gempa, peran Satuan Kerja Penanggulangan Kedaruratan Bencana (SKPDB) tingkat kabupaten sangat penting. Sebab, siap mengoordinasi tahapan siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi pemulihan segala bentuk bencana.
Soal mitigasi atau alat deteksi gempa yang dilakukan pemerintah dan peneliti, Anggri menjelaskan, usaha memprediksi gempa sudah dilakukan di Indonesia. Salah satunya yang paling intens ada potensi gempa di Sesar Lembang dan Sesar Sumatra.
"Ini bisa dilakukan dengan menghitung seberapa cepat pergerakan bidang patahan atau sesar dengan acuan bahwa gempa merupakan siklus karena jika pernah terjadi saat ini, pasti pernah terjadi di masa lalu dan akan terjadi di masa depan," kata Anggri, Selasa (22/11).
Untuk itu, yang perlu dilakukan melakukan pemetaan guna mengidentifikasi secara spasial, di mana saja keberadaan sesar suatu daerah. Jika sudah teridentifikasi, masing-masing sesar perlu dilakukan estimasi rata-rata kecepatan pergerakannya.
Dengan data inilah, bisa diketahui mana sesar yang masih aktif dan tidak serta mana yang paling berpotensi untuk gempa di masa depan. Meski begitu, metode ini menurutnya tidak sepenuhnya akurat karena memang aktivitas alam sangat dinamis.
Tapi, dengan tersedianya data dasar, maka dapat dijadikan acuan terbaik untuk skenario mitigasi masa depan. Namun, tidak kalah lebih penting setiap kejadian gempa besar selalu diikuti gempa-gempa susulan dengan skala relatif lebih kecil. "Walaupun lebih kecil, tetap harus waspada," ujarnya.
Untuk masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan lereng curam, ada kemungkinan jika gempa susulan dapat memicu tanah di sekitarnya semakin tidak stabil. Apalagi, ditambah hujan lebat menimbulkan risiko terjadinya longsor.
"Saya kira perlu dilakukan evakuasi warga untuk daerah-daerah yang berdekatan dengan tebing tinggi," kata Anggri.