Senin 12 Dec 2022 18:52 WIB

'Serang balik Propaganda Kekerasan dengan Narasi Cinta dan Perdamaian' 

Aksi keji itu merupakan musuh kemanusiaan.

Anggota kepolisian berjalan di samping deretan karangan bunga pascaledakan bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar, Jalan Astana Anyar, Kota Bandung, Jumat (9/12/2022). Karangan bunga tersebut sebagai bentuk penghargaan dan dukungan untuk Polri dalam memberantas terorisme, serta ucapan duka cita atas wafatnya Aiptu Anumerta Sofyan dalam peristiwa ledakan bom bunuh diri tersebut. Republika/Abdan Syakura
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Anggota kepolisian berjalan di samping deretan karangan bunga pascaledakan bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar, Jalan Astana Anyar, Kota Bandung, Jumat (9/12/2022). Karangan bunga tersebut sebagai bentuk penghargaan dan dukungan untuk Polri dalam memberantas terorisme, serta ucapan duka cita atas wafatnya Aiptu Anumerta Sofyan dalam peristiwa ledakan bom bunuh diri tersebut. Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi terorisme dalam bentuk bom bunuh diri kembali terjadi di Polsek Astana Anyar, Bandung, pada Rabu (7/12/2022) lalu. Perilaku keji ini tatkala selalu berlindung di balik narasi jihad. Namun, harus diakui bahwa narasi jihad, kafir dan thagut kini telah mengalami banyak distorsi dan pergeseran makna yang menyebabkan maraknya praktik intoleransi, kekerasan hingga teror.

Aktivis di Gerakan Islam Cinta, Habib Husein Ja'far Al Hadar, pun turut mengutuk keras aksi teror yang terjadi tersebut. Dirinya menyebut, aksi keji itu merupakan musuh kemanusiaan, sebagai akibat dari kesalahpahaman dan propaganda atas nama agama yang disalahtafsirkan.

"Aksi teror itu adalah musuh kita bersama, apapun agamanya. Karena mereka melawan kemanusiaan itu sendiri dan bahkan yang paling mendasar mereka melawan kemanusiaan dirinya sendiri," ujar Habib Husein Ja'far Al Hadar di Jakarta, Senin (12/12/2022).

Dirinya melanjutkan, tatkala para pelaku terorisme juga merupakan korban yang diperdaya oleh kelompok tertentu, dengan janji semu kemuliaan dunia dan akhirat sebagai hasil pengorbanannya kepada sang Ilahi. Sehingga, pria yang kerap disapa Habib Jafar ini menilai perlunya meluruskan kembali narasi keliru tentang esensi jihad.

"Kita tidak ingin mereka dibodohi melalui propaganda seperti itu. Kita sayang kepada mereka (kelompok radikal) maka kita ingin merangkul mereka, bahwa bukan itu cara mendapatkan kemuliaan didunia dan kebahagiaan di akhirat. Tapi caranya adalah dengan menegaskan bahwa semakin beragama seseorang, maka semakin besar juga cintanya kepada orang lain," jelas Habib Jafar.

Pria yang meraih gelar Magister bidang Tafsir Qur’an dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, menjelaskan berbagai upaya nyata yang bisa dilakukan semua pihak guna meluruskan kembali nilai-nilai kemanusiaan, nilai toleransi dan kebhinekaan yang kerap didistorsi maknanya sehingga memicu munculnya bibit radikal dan terorisme.

"Kenapa mereka bisa menjadi teroris? Karena mereka dipapar terus menerus oleh ideologi teror atas nama agama, suku, dan lain sebagainya. Oleh karena itu tugas kita untuk mencegah itu adalah memapar balik mereka dengan nilai-nilai cinta dan perdamaian," tuturnya.

Mengutip riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN tahun 2021, Habib Jafar menyebut konten yang tidak moderat, kini tiga kali lipat jauh lebih menguasai perbincangan di media sosial (medsos) daripada konten moderat. Oleh sebab itu, menyerang balik narasi radikal kekerasan dengan paparan narasi cinta dan perdamaian harus dilakukan. Ia optimistis bangsa ini akan mampu menang dari radikalisme dan terorisme yang mengancam kedaulatan dan persatuan bangsa.

"Kita melakukan propaganda yang sebaliknya, tentang toleransi diantara umat beragama, suku dan bangsa. Kita berpeluang menang. Karena kalau kita merujuk pada nilai dasar kemanusiaan maka sejatinya tidak ada manusia yang terlahir jahat. Kebencian itu diajarkan manusia, tetapi cinta itu diciptakan oleh Tuhan," ujarnya.

Menurut pengamatannya, paparan konten dan narasi yang dibangun oleh kelompok radikal sejatinya perlu menjadi perhatian, baik dari segi kuantitas besarnya konten dan narasi yang didiseminasikan, maupun kualitas narasinya yang mampu mengambil hati penerimanya. Untuk itu perlu adanya perlawanan balik melalui konten dan narasi moderat dengan isi maupun kuantitas yang lebih besar.

"Karena paparan mereka secara kuantitas jauh lebih besar. Belum lagi kualitas propaganda mereka. Nah, karena itu tugas kita memapar balik, dengan apapun, ceramah, konten digital, pertemanan dan apapun yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan kesadaran toleransi diantara kita yang berbeda," ungkapnya.

Untuk itu Habib Jafar menilai, pemerintah serta tokoh harus hadir bekerjasama dan berperan dalam rangka mencegah dan membongkar pola piker serta pergerakan kelompok radikal ditengah masyarakat. Sebab, sekecil apapun aksi terorisme merupakan masalah besar yang harus menjadi perhatian semua pihak.

"Tokoh berperan untuk dua hal. Pertama, memberikan doktrin tentang toleransi karena suara mereka didengar. Kedua, membatasi ruang gerak mereka dengan mengawasi dan melaporkan sekecil apapun pergerakan kelompok tersebut," kata pria kelahiran kelahiran Bondowoso, 21 Juni 1988 silam ini.

Terakhir, Habib Jafar berharap pemerintah juga turut hadir dalam memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyatnya, baik melalui upaya preventif maupun maupun tindakan tegas terhadap sekecil apapun aksi yang mengancam keutuhan bangsa.

"Negara harus hadir memberikan rasa aman kepada masyarakat. Dengan hadir secara nyata melalui tindakan preventif maupun tindakan terhadap aksi yang ada dan siapa saja yang mengancam toleransi umat. Kerjasama anatra umaro dan ulama itu menjadi kunci untuk kita menghadapi problem ini," kata Habib Jafar mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement