REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA -- Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah mendorong Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga segera membuat peraturan Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Hal ini penting dilakukan untuk memperkuat pengembangan kehidupan yang damai sekaligus sebagai bagian dari edukasi toleransi sejak dini, guna mencegah radikalisme dan terorisme di daerahnya.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah, Haerudin mengatakan, pelaku terorisme selain memiliki militansi ideologi radikalisme yang kuat juga cenderung memilih daerah operasi di luar wilayah asalnya.
Peristiwa terakhir, teror bom di Polsek Astanaanyar di Kota Bandung (7/12/20222) lalu, menyadarkan kembali bahwa proses deradikalisasi terhadap eks napi teroris masih menghadapi tantangan.
Keberadaan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (Perpres RAN–PE), perlu direspon Pemeritah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan membuat regulasi di setiap daerahnya.
"Tidak terkecuali Kota Salatiga yang sejuh ini berada dalam kondisi damai dan dikenal sebagai kota toleran," ungkapnya, melelaui keterangan pers yang diterima Republika, Jumat (23/12/2022).
Sehingga, kata Haerudin, Pemkot Salatiga perlu mengantisipasi dan melakukan upaya pencegahan kemungkinan berkembangnya paham radikalisme dan terorisme di wilayahnya.
Untuk itu, Pemkot Salatiga bisa membuat peraturan wali kota untuk menciptakan kehidupan yang damai dan mengembangkan edukasi toleransi sejak dini, guna mencegah radikalisme dan terorisme.
Terbitnya Pergub No 35/2022 merupakan respon terhadap terbitnya Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (RAN–PE).
Perpres ini antara lain memberikan mandat kepada gubernur dan bupati/ walikota, bertanggung jawab atas pelaksanaan RAN PE di daerahnya masing- masing dengan koordinasi kementerian dan lembaga negara terkait. Termasuk kerjasama dengan kelompok masyarakat sipil.
"Diharapkan akan mendorong pemerintah kabupaten/ kota di Jawa Tengah untuk membuat peraturan walikota/ bupati regulasi supaya bisa menjangkau program dalam skala lebih luas, dan terjadi sinergitas diatara Pemerintah daerah dengan masyarakat sipil," katanya menambahkan.
Terlebih, masih kata Haerudin, Pemprov hanya memiliki kewenangan dalam program sekolah damai di lingkungan pendidikan jenjang pendidikan tingkat SMA sederajat.
Sedangkan jenjang pendidikan tingkat PAUD, SD dan SMP berada di pemerintah kabupaten/ kota. Sehingga Pergub ini kurang bisa menjangkau ke level pemerintahan dan masyarakat desa.
Maka peran pemerintah kabupaten/kota dipandang strategis untuk menyediakan regulasi bagi gerakan pencegahan radikalisme dan ekstremisme di wilayahnya.
"Jika ini terwujud maka diharapkan semakin mendukung kerja kolaborasi multi stakeholder sesuai kebutuhan dan konteks Jawa Tengah," katanya.