REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Penerbitan Peratutan Pemerintah Pengganti Undang Undang Cipta Kerja (Perpu Ciptaker) dinilai rawan menciptakan kegentingan baru. Hal itu disebabkan Perpu Cipta Kerja disebut tidak banyak berbeda dengan Undang Undang (UU) Cipta Kerja dimana banyak berisi pasal-pasal berbahaya bagi lingkungan hidup.
Deputi Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien menyebut, Perpu Cipta Kerja telah mengadopsi substansi UU Cipta Kerja yang telah mengubah Pasal 18 UU tentang Kehutanan. Misalnya terkait dengan ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan dalam rangka mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi hutan bagi masyarakat setempat.
"Sebelum direvisi dalam Omnibus Law, UU Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional," ungkapnya dalam keterangan tertulis kepada Republika, Kamis (5/1/2023).
Tetapi, jelas Andi, UU Cipta Kerja yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perpu Cipta Kerja tetap menghapus ketentuan tersebut dan untuk kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Perpu Cipta Kerja, lanjutnya, juga masih mempertahankan aturan dalam UU Cipta Kerja yang memangkas hak masyarakat adat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Penyusunan Amdal hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Maka, pembatasan ini berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan Amdal.
Pada praktiknya, mereka yang terdampak langsung oleh rencana sebuah kegiatan atau usaha juga memiliki posisi yang inferior secara politik dan memerlukan pendampingan.
Apabila tidak dilakukan pendampingan, dikhawatirkan penyampaian informasi oleh pihak pemrakarsa dilakukan dengan tidak transparan. "Akibatnya, penyusunan Amdal akan timpang dan menyisihkan peran kelompok independen," katanya.
Lebih lanjut, Andi juga mengungkapkan, Pasal pemutihan atas keterlanjuran kegiatan usaha di kawasan hutan, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja, juga masih dipertahankan.
Baik dalam UU maupun Perpu Cipta Kerja tidak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan dan telah beroperasi sejak sebelum diberlakukannya aturan.
Dalam UU Ciptaker, justru diberi waktu untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun. "Dalam Perpu, isinya tak jauh beda, hanya menyebutkan spesifik batas waktu sampai 2 November 2023," lanjutnya.
Andi juga masih melihat pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak Kegiatan pertambangan, khususnya dalam Pasal 162 Perpu Cipta Kerja. Sehingga aturan ini berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminilisasi masyarakat yang menolak kegiatan tambang.
Pasal tersebut mengatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan.
Baik oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB).
Dari catatan ini, ia melihat subtansi UU Cipta Kerja yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perpu Cipta Kerja tidak banyak yang berubah. "Yakni akan mempreteli kerangka perlindungan lingkungan dan sosial," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Satya Bumi, Annisa Rahmawati menyebut Perpu Cipta Kerja merupakan langkah pintas negara yang tidak mau lagi mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi. Bahkan juga merupakan bentuk pengelabuan dengan mendasarkan persoalan perubahan ikllim dan investasi menjadi alasan kegentingan memaksa.
Oleh karena itu, Satya Bumi menyesalkan langkah pemerintah yang menerbitkan Perpu Cipta Kerja. “Selain itu juga mendesak Presiden untuk membatalkan penerbitan Perpu Cipta Kerja dan meminta DPR RI untuk tidak menyetujui Perpu ini," kata Annisa.