Kamis 12 Jan 2023 07:28 WIB

Buku 'Memburu Keadilan', Alat Perjuangan Orang Tua Tuntut Keadilan Korban Salah Tangkap

Gerakan orang tua korban tidak akan berhasil jika hanya dilakukan temporer.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Ruang Arsip Sejarah Perempuan, Ita Fatia Nadia (kedua dari kiri) dalam diskusi dan beda buku
Foto: Febrianto Adi Saputro/Republika
Ketua Ruang Arsip Sejarah Perempuan, Ita Fatia Nadia (kedua dari kiri) dalam diskusi dan beda buku

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Ruang Arsip Sejarah Perempuan, Ita Fatia Nadia, menyambut baik adanya buku berjudul 'Memburu Keadilan' yang ditulis Andayani, ibu dari Andi yang merupakan korban asal tangkap oleh aparat bersama empat rekannya yang lain yang dituduh atas kasus dugaan klitih di Yogyakarta. Menurut Ita buku tersebut bisa menjadi alat perjuangan dalam mencari keadilan untuk anaknya yang sampai saat ini masih ditahan. 

"Kita punya sejarah panjang bagaimana tulisan ibu Andayani ini bisa menjadi transformasi gerakan politik, banyak contoh, dan itu dimulai dari perempuan," kata Ita dalam diskusi dan beda buku 'Memburu Keadilan', di Yogyakarta, Rabu (11/1/2023). 

Namun Ita mengingatkan bahwa buku yang ditulis Andayani dan gerakan yang dilakukan orang tua korban tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara temporer. Menurutnya gerakan menuntut keadilan untuk sang anak yang dilakukan kelima orang tua yang jadi korban peristiwa tersebut perlu terus digaungkan. 

Ia pun mencontohkan bagaimana gerakan 'Plaza de Mayo' dilakukan kaum perempuan di Argentina untuk melawan diktator ketika itu. "Jadi ibu-ibu itu kehilangan anaknya, anaknya dibunuh, diculik tidak kembali, apa yang terjadi? Mereka berkumpul dalam doa novena secara Katolik dan melakukan pendidikan kesadaran politik melalui mengapa anak-anak ini hilang," ucapnya. 

Selain itu, Ita juga mengingatkan bahwa perempuan juga dinilai berperan penting dalam reformasi 1998. Tanpa kaum ibu, mahasiswa dinilai tidak akan berhasil menggulingkan rezim Soeharto.

"Kami para aktivis perempuan, pergi ke majelis taklim, dan kami membawa selebaran, selebaran ini kami bawa ke majelis taklim, pengajian-pengajian, dan  bicara apa itu Orde Baru, kenapa harus dibongkar," ungkapnya.

"Jadi sebetulnya bukunya Ibu Andayani ini bisa menjadi alat transformasi dari pengetahuan ibu Andayani untuk dibagikan kepada ibu-ibu pengajian, ibu-ibu gereja, ibu-ibu PKK, ibu-ibu arisan," imbuhnya.

Ita memandang jika hal tersebut dilakukan menjadi sebuah gerakan, maka semua orang akan ikut membicarakan peristiwa penangkapan yang dilakukan aparat terhadap lima remaja tersebut. Gerakan yang tadinya dimulai oleh orang tua para korban diharapkan akan bertransformasi menjadi gerakan sosial. 

"Kita harus membangun gerakan yang lebih luas lagi, tapi juga kita harus bisa melakukan dialog-dialog juga dengan polisi," tuturnya. 

Hal senada juga disampaikan Dosen Fakultas Hukum UGM, Herlambang P Wiratraman. Herlambang mengatakan selain menjadi alat perjuangan, buku yang ditulis Andayani merupakan proses pencerdasan publik, terlebih ditulis oleh seorang ibu yang merasakan langsung peristiwa tersebut.

"Saya kira bu Andayani kalau temen-temen membaca buku yang ditulisnya itu bisa sekali duduk selesai, bukan karena nggak penting buku tebal, tapi begitu baca rasanya dari lembar per lembar nggak mau berhenti, itu yang rasakan," ungkapnya. 

Untuk diketahui Andi bersama empat rekannya, Hanif, Fandhy, Ryan, dan Dhitto tengah mendekam di penjara lantaran dituduh membunuh seorang anak seorang politisi. Anak politisi tersebut tewas di Gedongkuning, Kota Yogyakarta, pada 3 April 2022. Pada 9 dan 10 April 2022, kelima anak tersebut ditahan. Kelima anak tersebut mengaku dipukuli, dianiaya, dan dihajar oleh polisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement