Jumat 13 Jan 2023 20:42 WIB

Pemilu Proporsional Terbuka Dinilai Lebih Berkembang dan Berdimensi Politik Masa Depan

Mendorong penguatan partai politik di masa depan dinilai tak relevan lagi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Direktur Lingkaran Madani (Lima) Ray Rangkuti diwawancara wartawan.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Direktur Lingkaran Madani (Lima) Ray Rangkuti diwawancara wartawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak delapan parpol menegaskan komitmennya mendukung sistem pemilu proporsional terbuka. Menanggapi itu, Direktur Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti menilai argumen untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup tidak berkembang dan cenderung terjebak ke masa lalu. Berbeda dengan argumen pendukung proporsional terbuka yang cenderung berkembang dan berdimensi masa depan.

"Saya kira mempertahankan argumennya (proporsional terbuka) itu jauh lebih banyak, bisa tiga kali lipat dari kembali ke proporsional tertutup," kata Ray dalam keterangan, Jumat (13/1/2023).

Ray menjelaskan, tiga argumen yang kerap disuarakan pendukung sistem proporsional tertutup yakni peserta pemilu adalah parpol, konsolidasi parpol, dan pemilu berbiaya rendah. Sementara itu, argumen pendukung proporsional terbuka justru terus berkembang.

"Kalau itu berdimensi masa lalu, sudah kita alami. Justru (proporsional) terbuka itu adalah titik balik dari yang lalu," ujarnya.

Ia menuturkan argumen penguat sistem proporsional terbuka yang berhubungan dengan masa depan yakni keberadaan dan perkembangan media sosial. Di era teknologi ini media sosial menjadi perangkat yang paling utama dalam kehidupan sehari-hari.

"Dan di media sosial itu politik juga diatur. Sudah banyak keputusan-keputusan politik itu berdasarkan media sosial," tuturnya.

Ia menilai, hal itu menandakan dominasi media sosial begitu besar dan mampu menentukan wajah politik. Oleh sebab itu, tidak relevan lagi ketika mendorong penguatan partai politik di masa depan. 

"Di tengah era seperti itu kita masih berpikir penguatan partai, tidak masuk akal. Itu di era 1960-an, 1970-an, relevan karena kita belum menemukan media sosial, di mana orang dalam menyalurkan aspirasi, mengadvokasi kebijakan itu tidak lain kecuali melalui partai," ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement