REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Sepintas memang tidak ada perbedaan yang mencolok antara telo Mangul dengan ubi jalar lainnya. Karena keduanya sama-sama berasal dari tanaman jenis ubi jalar.
Namun ada yang khas dan menjadi pembeda hingga membuat jenis ubi jalar yang hanya ditanam di persawahan Mangul, Desa Sepakung, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ini, begitu istimewa.
Yakni dari yang khas, asal lahan tempat tanaman ini dibudidayakan dan keterbatasan produksi, mengingat tanaman telo Mangul ini hanya ditanam di area persawahan yang luasnya hanya berkisar empat hektare.
Di luar kawasan persawahan ini, tanaman telo Mangul tetap dapat tumbuh dengan baik, namun umbi yang dihasilkan kualitasnya tidak akan sebagus dengan yang ditanam areal persawahan Mangul.
“Sehingga, untuk membeli telo Mangul ini harus inden terlebih dahulu,” ungkap Kepala Desa Sepakung, Ahmat Nuri, kepada Republika.
Ia menuturkan, ubi jalar ini (telo Mangul) memang telah dibudidayakan secara turun temurun di Desa Sepakung. Mangul merupakan nama areal persawahan tempat tanaman ubi jalar ini ditanam.
Menurutnya, tanaman telo Mangul ini sebenarnya merupakan komoditas tanaman ‘sela’ untuk menunggu musim tanam padi di persawahan Mangul.
Biasanya telo Mangul ini akan ditanam petani pada Agustus saat memasuki musim kemarau dan akan dipanen pada Januari, sebelum sawah kembali ditanami dengan tanaman padi.
Namun ubi jalar ini memiliki cita rasa yang berbeda, dibandingkan dengan ubi jalar pada umumnya. Karena tekstur daging umbi yang kadar airnya relatif rendah, manisnya juga tidak begitu kuat, ada rasa asin dan empuk serta masir jika dikukus atau direbus.
Jika dikukus juga akan tahan lebih lama dan tidak basi dalam waktu 4 x 24 jam (empat hari). Dalam kondisi mentah, ubi ini juga akan tahan hingga 4 – 5 bulan karena tanaman ini murni organik.
“Menurut cerita para sesepuh dan pendahulu warga Desa Sepakung, salah satu faktor yang mejadi pembeda dari ubi jalar ini adalah pengairan dari sumber air Balong dan kini menjadi embung Balong yang ada di kaki gunung Telomoyo,” lanjut Ahmat Nuri.
Hal ini diamini oleh Surati (63), salah seorang petani Desa Sepakung yang membudidayakan tanaman telo Mangul. Menurutnya, embung Balong memang mengairi areal persawahan Mangul seluas empat hektare.
Uniknya, tanaman ini pernah coba ditanam di lahan persawahan hingga radius 200 meter dari persawahan Mangul. Walaupun tetap subur, kualitas ubinya tidak dapat menyamai dengan ubi yang ditanam di sawah Mangul.
Karena pengairannya sudah bercampur dengan aliran sumber air lainnya. “Sehingga tanaman ubi ini hanya ditanam di area sawah Mangul saja, sehingga produksinya sangat terbatas,” tegasnya.
Begiu pula, tambah Surati, saat umbi ini juga dibudidayakan di daerah lain di luar Kabupaten Semarang. Hasilnya justru tidak berbeda dengan ubi jalar yang lain.
Pada panen raya kali ini, harga telo mangul dari petani mencapai Rp 10 ribu per kilogram. “Secara keekonomian, harganya jauh lebih bagus dari ubi jalar lainnya yang hanya mencapai Rp 3.500 per kg,” kata dia.
Ahmat Nuri menambahkan, pada tahun ini, produktivitas telo Mangul memang kurang optimal, karena musim kemarau 2022 lalu merupakan musim kemarau basah dan masih turun hujan.
Padahal tanaman telo Mangul ini hasilnya akan lebih bagus jika musim kemarau benar-benar kering. “Saat produksi bagus, sawah Mangul bisa menghasilkan sebanyak 14 hingga 15 ton per hektare,” lanjutnya.
Oleh karena itu, masyarakat yang sudah inden dapat dipastikan tidak akan bisa mendapatkan dalam jumlah yang banyak, meskipun yang sudah inden membeli ada yang dari Kendal, Salatiga, maupun Kota Semarang.
“Produksi yang terbatas ini harus dibagi rata dengan yang lain, agar semua bisa terlayani walaupun dengan jumlah yang terbatas,” tegas Nuri.
Agung (38), warga Cepiring, Kabupaten Kendal, mengaku sudah beberapa tahun lalu mengenal telo Mangul khas Desa Sepakung ini. ia mengakui ubi jalar ini memiliki citarasa yang berbeda.
“Setiap tahun saat masa panen raya, saya selalu membeli, karena citarasanya yang beda dan spesifik,” jelasnya.